Malam di bawah bulan (1)
Medio tahun 2005, disebuah desa bernama Bakambit.
Aku bukan orang yang bisa bercerita dengan baik melalui tulisan, tapi kali ini aku mencoba menceritakan kisah yg sudah cukup lama.
Saat itu aku berada disebuah desa di Kecamatan Pulau Laut Timur Kabupaten Kotabaru, nama desanya Bakambit dan aku dalam beberapa hari menginap dirumah salah satu penduduknya, Bapak Rahadi. Bapak Rahadi ini seorang ayah dengan 3 orang anak, yang tertua pada waktu itu duduk dikelas 5 SD dan yang kedua baru duduk di kelas 1 SD sedangkan yang bungsu masih belum sekolah.
Di desa Bakambit hanya ada 1 Sekolah Dasar Negeri dengan dua orang guru yang mengajar dari kelas 1 sampai kelas 6, 1 orang guru utk mengajar kelas 1 sampai kelas 3, 1 orang lainnya mengajar di kelas 4 sampai dengan kelas 6. Desa Bakambit sendiri sebenarnya tidak terlalu jauh dari ibukota kecamatan, hanya sekitar 6 kilometer saja.
Bisa dibayangkan bagaimana pendidikan di sana yang hanya dilayani oleh 2 orang guru. Sehingga untuk kelas sendiri kelas 1-3 di gabung dalam 1 kelas begitu juga dengan kelas 4-6 di gabung dalam 1 kelas. ini berakibat pada kualitas pendidikan yang menjadi rendah. Sementara guru disekolah itu tidak bisa berharap banyak pada orang tua murid untuk memberikan pendidikan seperti membaca dan menulis dirumah karena tingkat pendidikan para orang tua murid itupun rendah, rata-rata tidak tamat SD.
Anak kedua Pak Rahadi petang itu sedang belajar dengan diterangi lampu minyak tanah yang dibuat dari botol kecil bekas minuman suplemen yang diberi sumbu dan cahayanya tidak terlalu terang itu membantu dia menerangi buku pelajaran bekas kakaknya. Dengan terbata-bata mencoba melapalkan tulisan yang ada di buku belajar membaca dan menulis untuk pelajar kelas 1. Untungnya saat itu bulan sedang purnama penuh, menyeruak diantara sela sela cendela yang memang sengaja dibuka. Semangat anak kecil itu untuk bisa membaca cukup tinggi, walau dia belum bisa melapalkan tulisan dibukunya dengan baik, tapi sangat jelas terlihat dari upayanya melapalkan tulisan.
Aku kemudian berjalan menuju beranda dan dari situ aku masih bisa mendengarkan suara anak kecil itu meng-eja tulisan dari buku pelajaran membacanya. Bulan semakin memancarkan sinar purnamanya dan beberapa saat kemudian suara anak yang sedang belajar membaca itu berhenti, rupanya dia sudah hendak tidur. Terbayang di benakku bagaimana anak-anak di desa Bakambit ini kedepan, apabila pelayanan pendidikan yang mereka peroleh tidak mengalami peningkatan, akan jadi apa mereka apabila hak mereka sebagai generasi penerus untuk mendapatkan pelayanan dari negara yang seharusnya bertanggung jawab untuk mencerdaskan mereka terabaikan. Pembangunan memang tidak memihak kaum miskin dipedesaan.
Aku bukan orang yang bisa bercerita dengan baik melalui tulisan, tapi kali ini aku mencoba menceritakan kisah yg sudah cukup lama.
Saat itu aku berada disebuah desa di Kecamatan Pulau Laut Timur Kabupaten Kotabaru, nama desanya Bakambit dan aku dalam beberapa hari menginap dirumah salah satu penduduknya, Bapak Rahadi. Bapak Rahadi ini seorang ayah dengan 3 orang anak, yang tertua pada waktu itu duduk dikelas 5 SD dan yang kedua baru duduk di kelas 1 SD sedangkan yang bungsu masih belum sekolah.
Di desa Bakambit hanya ada 1 Sekolah Dasar Negeri dengan dua orang guru yang mengajar dari kelas 1 sampai kelas 6, 1 orang guru utk mengajar kelas 1 sampai kelas 3, 1 orang lainnya mengajar di kelas 4 sampai dengan kelas 6. Desa Bakambit sendiri sebenarnya tidak terlalu jauh dari ibukota kecamatan, hanya sekitar 6 kilometer saja.
Bisa dibayangkan bagaimana pendidikan di sana yang hanya dilayani oleh 2 orang guru. Sehingga untuk kelas sendiri kelas 1-3 di gabung dalam 1 kelas begitu juga dengan kelas 4-6 di gabung dalam 1 kelas. ini berakibat pada kualitas pendidikan yang menjadi rendah. Sementara guru disekolah itu tidak bisa berharap banyak pada orang tua murid untuk memberikan pendidikan seperti membaca dan menulis dirumah karena tingkat pendidikan para orang tua murid itupun rendah, rata-rata tidak tamat SD.
Anak kedua Pak Rahadi petang itu sedang belajar dengan diterangi lampu minyak tanah yang dibuat dari botol kecil bekas minuman suplemen yang diberi sumbu dan cahayanya tidak terlalu terang itu membantu dia menerangi buku pelajaran bekas kakaknya. Dengan terbata-bata mencoba melapalkan tulisan yang ada di buku belajar membaca dan menulis untuk pelajar kelas 1. Untungnya saat itu bulan sedang purnama penuh, menyeruak diantara sela sela cendela yang memang sengaja dibuka. Semangat anak kecil itu untuk bisa membaca cukup tinggi, walau dia belum bisa melapalkan tulisan dibukunya dengan baik, tapi sangat jelas terlihat dari upayanya melapalkan tulisan.
Aku kemudian berjalan menuju beranda dan dari situ aku masih bisa mendengarkan suara anak kecil itu meng-eja tulisan dari buku pelajaran membacanya. Bulan semakin memancarkan sinar purnamanya dan beberapa saat kemudian suara anak yang sedang belajar membaca itu berhenti, rupanya dia sudah hendak tidur. Terbayang di benakku bagaimana anak-anak di desa Bakambit ini kedepan, apabila pelayanan pendidikan yang mereka peroleh tidak mengalami peningkatan, akan jadi apa mereka apabila hak mereka sebagai generasi penerus untuk mendapatkan pelayanan dari negara yang seharusnya bertanggung jawab untuk mencerdaskan mereka terabaikan. Pembangunan memang tidak memihak kaum miskin dipedesaan.
Label: Perenungan
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda