Senin, 18 Juli 2016

Hak Rakyat Atas Lingkungan Hidup Dalam Kacamata Pembangunan Inprastruktur Nasional
Oleh : Deddy Ratih[1]

Pendahuluan

Dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia pada Amandemen ke-2 UUD 1945, Pasal 28H ayat (1) menyebutkan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dun batin, bertempal tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta herhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Dalam pasal 28 H ayat 1 ini, dalam tafsir-nya, hak hidup layak dan bersih tidak hanya merujuk pada fisik lingkungan hidup, lebih dari itu, hak hidup layak dan bersih merupakan esensi dan eksistensi manusia untuk di jaminan agar terpenuhinya hak hidup manusia[2]

Lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati oleh manusia bersama makhluk hidup lainnya. Masing-masing tidak berdiri sendiri dalam proses kehidupan, saling berinteraksi dan membutuhkan. Kehidupan yang ditandai dengan interaksi dan saling bergantung secara teratur tersebut merupakan tatanan ekosistem yang di dalamnya mengandung esensi penting lingkungan hidup sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dibicarakan secara parsial. Lingkungan Hidup harus dipandang secara holistik dan  mengandung sistem yang teratur serta meletakkan semua unsur di dalamnya secara setara.

Dalam banyak definisi, lingkungan hidup masih ditafsirkan secara konvensional, lingkungan hidup dianggap sebagai obyek penunjang kehidupan. Perspektif seperti ini masih melihat dan menempatkan lingkungan hidup sebagai obyek eksploitasi untuk menunjang kehidupan. Padahal esensi lingkungan hidup sendiri adalah sebuah kehidupan dimana ruang lingkup dan waktunya melingkupi kehidupan-kehidupan yang ada di dalamnya.

Dalam bahasan lain lingkungan hidup di tafsirkan secara pragmatis dan komoditis. Pikiran-pikiran dan dominasi positivistik menjadi racun yang selalu mengkuantitaskan skala lingkungan hidup. Demikian pula lingkungan hidup selalu hanya dilihat dan dipandang sebagai dampak dari praktek-praktek sebelumnya. Padahal, kalau dilihat dalam konteks yang sistemik lingkungan hidup sebagai sebuah system tentu tunduk pada sebuah sistem hukum alam. Dengan demikian suatu system tersebut dapat berlangsung dengan seimbang jika kualitas komponen di dalamnya tetap berjalan stabil.

Sebagai sebuah sistem kehidupan, maka lingkungan hidup merupakan sebuah kehidupan yang terdiri dari kehidupan masa lalu, kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Itulah esensi dari sumber-sumber kehidupan.

Dengan demikian maka adalah tanggung jawab Negara untuk memastikan terpenuhinya Hak Hidup Layak dan Mendapatkan Lingkungan Hidup yang Bersih dan Sehat.  Merujuk pada Konstitusi Negara Republik Indonesia yaitu UUD 1945, maka seharusnya regulasi yang menjadi landasan rencana pembangunan Nasional hendaknya memberikan jaminan tersebut.

Model Pembangunan yang Menuai Krisis
Dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir tercatat ribuan bencana ekologis akibat model pembangunan yang tidak memperhatikan lingkungan, bencana banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan serta kekeringan merupakan rangkaian siklus tahunan yang berakibat pada kerugian yang sangat besar baik dari sisi Pemerintah dalam upaya memperbaiki infrastruktur yang rusak maupun dari sisi masyarakat yang dirugikan secara materiil dan non materiil.

Salah satu contoh dari bencana ekologis yang terjadi adalah banjir bandang yang melanda Kota Manado di Sulawesi Utara, penyebab utama dari kejadian tersebut adalah berkurangnya daya tampung dan daya dukung lingkungan serta pengembangan model pembangunan yang tidak memperhatikan karakteristik ekologi setempat.

Dalam versi yang lain, kejadian kebakaran hutan dan lahan gambut yang berakibat pada bencana ekologi kabut asap di Sumatera, Kalimantan dan Papua.  Kejadian ini merupakan buah dari ketidak mampuan pemerintah dalam merespon ketidakseimbangan lingkungan hidup sebagai akibat dari perluasan perkebunan kelapa sawit skala besar dan kebun kayu skala besar (HTI).

Diberbagai tempat model pembangunan mengacu pada upaya mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi semata selain itu juga paradigma pembangunan di beberapa tempat mengasumsikan bahwa infrastruktur transportasi adalah jalan raya (bertumpu pada pengembangan angkutan darat), sementara itu disisi lain pembangunan tersebut menghilangkan fungsi sungai sebagai salah satu infrakstruktur yang harus diperhatikan.  Fungsi sungai juga berubah seiring bertambah padatnya pemukiman dan perkantoran serta kawasan industry.

Kawasan-kawasan pertanian di Pulau Jawa, sebagian besar berubah menjadi kawasan industry dan pemukiman, infrastruktur pengairan yang dulu pernah dibangun menjadi terbengkalai dan tidak tepat fungsi.

Model pembangunan saat ini mengacu pada visi dan misi presiden, dimana perencanaan pembangunan  diturunkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) per tahun.  Sehingga visi jangka panjang pembangunan tidak mampu tercermin dalam rencana pembangunan tersebut.  Visi Indonesia 2014 yang digariskan dalam RPJMN 2010-2014 adalah “Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan” yang dijabarkan ke dalam 5 (lima) agenda pembangunan yaitu: (1) Pembangunan ekonomi dan Peningkatan Kesejahteraan Rakyat; (2) Perbaikan Tata Kelola Pemerintahan; (3) Penegakan Pilar Demokrasi; (4) Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi; dan (5) Pembangunan yang Inklusif dan Berkeadilan. Sedangkan sasaran utama RPJMN 2010-2014 dibagi dalam 3 (tiga) kelompok yaitu: (1) Sasaran Pembangunan Ekonomi dan Kesejahteraan; (2) Sasaran Perkuatan Demokrasi; dan (3) Sasaran Penegakan Hukum[3]

Mater Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia dan upaya Pemulihan Indonesia

Dalam dokumen revisi MP3EI disebutkan, percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi akan menempatkan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan per kapita yang berkisar antara USD 14.250 – USD 15.500 dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USD 4,0 – 4,5 triliun. Untuk mewujudkannya diperlukan pertumbuhan ekonomi riil sebesar 6,4 – 7,5 persen pada periode 2011 – 2014, dan sekitar 8,0 – 9,0 persen pada periode 2015 – 2025. Pertumbuhan ekonomi tersebut akan dibarengi oleh penurunan inflasi dari sebesar 6,5 persen pada periode 2011 – 2014 menjadi 3,0 persen pada 2025.

 





Melihat dari koridor-koridor ekonomi yang dibentuk nampak porsi keberpihakan terhadap pembangunan ekonomi masyarakat sangat kurang dimana potensi-potensi yang menjadi pilihan dalam tiap koridor kemudian diterjemahkan dalam pengembangan ekonomi berbasis korporasi dan modal besar.  Hal ini bisa dilihat dari berbagai kegiatan ekonomi utama yang disodorkan, misalnya pada koridor Sumatera sebagai Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi.  Dengan 6 (enam) kegiatan ekonomi utama yaitu Kelapa Sawit, Karet, Batubara, Perkapalan, Besi Baja, dan Kawasan Strategis Nasional Selat Sunda.  Dari situ sudah nampak terlihat bahwa penikmat dari model ekonomi yang dikembangkan adalah korporasi.  Bila kita telaah lebih dalam lagi, misal pada Propinsi Lampung,  sebagai daerah agraris lebih dari 50% penduduk Lampung hidup dari sektor pertanian dalam arti yang luas, dimana sektor pertanian di Lampung menyumbang 36% PDRB Propinsi Lampung dalam statistic Lampung tercatat dari daerah ini menyumbang 22,63% produksi nasional untuk Kopi Robusta, 27,58% Lada Hitam, serta 26% produksi nanas.  Namun sangat bertolak belakang dari semua itu, dalam pertemuan Forum Gubernur se Sumatera dan Rakor MP3EI yang dihadiri oleh para Gubernur se Sumatera dan Banten pada tanggal 20 Maret 2013 di Propinsi Lampung, justru pertanian di arahkan pada sektor non unggulan propinsi-propinsi berbasiskan pertanian rakyat.   Dari Perhitungan RAD GRK Propinsi Lampung diketahui bahwa emisi terbesar Propinsi tersebut berasal dari perubahan dari hutan ke non hutan yaitu sebesar 70% lebih, dengan demikian problem lingkungan sebagai akibat dari berkurangnya hutan di Propinsi tersebut sangat tinggi[4].

Dengan demikian maka percepatan pembangunan ekonomi yang direncanakan justru menempatkan posisi rakyat sebagai penonton kegiatan ekonomi tersebut terlebih lagi Pemerintah Daerah Lampung menetapkan proyek investasi di Lampung yang menjadi bagian dari pelaksanaan MP3EI meliputi[5] :
  1.  Kawasan Industri Maritim (KIM) yang merupakan proyek investasi PT Pertamina, dikembangkan oleh PT Repindo Jagad Raya dengan nilai investasi sebesar Rp. 4 triliun.
  2. Industri minyak kasar (minyak nabati) di kabupaten Tulang Bawang oleh PT Sumber Indah Perkasa dengan nilai investasi Rp. 1,05 triliun.
  3. Kawasan Strategis Infrastruktur Selat Sunda
  4. Pembangunan PLTP (pembangkit listrik tenaga panas bumi) di Ulu Belu, Tanggamus, Suoh dan rajabasa.
Dari pemaparan tentang MP3EI diatas nampak bahwa proses akumulasi kekayaan disatu sisi dan penghisapan serta pemiskinan di sisi lainnya, bukan terjadi secara alamiah tetapi berdasarkan suatu rancangan kebijakan politik-ekonomi.  Dengan begitu, jelas hak atas lingkungan belum secara maksimal atau sensitif disepakati oleh banyak orang menjadi hak fundamental yang juga harus diakui secara politik. Kondisi seperti inilah yang bisa disebut sebagai suatu “ketidakpedulian umat manusia” di dunia atas lingkungan. Padahal, sudah banyak potret peristiwa ataupun perilaku yang menyimpang, dalam arti melanggar HAM dipicu oleh persoalan-persoalan seputar pengelolaan lingkungan yang tiada lain disebabkan kuatnya penetrasi atas paradigma atau paham pembangunan negara-negara kapitalis bersama konsep globalisasinya atau liberalisasi pasarnya.

Disisi lain sebagaimana disebutkan di atas, bencana ekologis sebagai akibat dari model pembangunan yang ada cenderung meningkat.  WALHI mencatat, bencana ekologis pada tahun 2013 mengalami lonjakan yang sangat tajam.  Jika pada tahun 2012 banjir dan longsor hanya terjadi 475 kali dengan korban jiwa 125 orang, pada 2013 secara kumulatif menjadi 1392 kali atau setara 293 persen. Bencana tersebut telah melanda 6727 desa/keluarah yang tersebar 2787 kecamatan, 419 kabupaten/kota dan 34 propinsi dan menimbulkan korban jiwa sebesar 565 orang.

Salah satu penyebab permasalahan lingkungan saat ini adalah ketimpangan penguasaan sumberdaya alam, dimana proporsi terbesar diberikan kepada korporasi.   Sebagai contoh, data yang dihimpun oleh WALHI dari berbagai sumber menunjukan komposisi penguasaan sumberdaya alam korporasi di Kalimantan Tengah sekitar … juta km persegi atau sekitar ….% dari luasan Propinsi Kalimantan Tengah.  Sementara itu di Propinsi Jambi sekitar  …% kawasan hutan produksinya dikuasai oleh satu korporasi melalui IUPHHK-HTI.

Bersamaan dengan ketimpangan penguasaan sumberdaya alam muncul degradasi lingkungan yang berakibat pada semakin tingginya tingkat kerentanan bencana ekologis, misalnya di Propinsi Lampung sepanjang tahun 2013 telah terjadi 38 kali bencana yang meliputi 104 Desa dan apabila dilihat dari wilayah bencana, terlihat wilayah-wilayah yang di dominasi oleh penguasaan lahan skala luas menempati urutan teratas seperti Lampung Selatan, Mesuji dan dampak pada wilayah hilir seperti Kota Bandar Lampung.  Demikian juga di Jambi terjadi 35 kali bencana ekologis dengan wilayah bencana meliputi 216 Desa dengan wilayah yang kerap diterpa bencana adalah wilayah-wilayah yang penguasaan lahan skala besar dimiliki oleh perkebunana besar kelapa sawit, pertambangan dan HTI seperti Tebo, Muara Jambi, Sorolangun dan wilayah hilir seperti Kota Jambi.  Di Kalimantan wilayah bencana berada di daerah-daerah tinggi tingkat eksploitasi sumberdaya alamnya seperti Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur yang menerpa kurang lebih 400 desa.

Hal lain yang muncul akibat ketimpangan tersebut adalah konflik agraria, dimana tercatat 369 konflik agraria sepanjang 2013 atau naik tiga kali lipat dibanding tahun 2009[6].
Krisis lingkungan sudah merambah pada krisis kedaulatan dan keadilan, dalam hal ini, terhadap rakyat kecil telah terjadi proses penghilangan identitas hidup (etnocide), demikian pula telah terjadi defisit narasi ketimpangan distribusi manfaat dari sumber-sumber penghidupan bagi rakyat[7].
pertama karena tidak adannya visi atau cetak biru yang menjadi landasan tentang pengelolaan lingkungan dan keberlanjutan ekologi, yang mengakibatkan negara tidak mampu mau menjadikan issue lingkungan hidup sebagai agenda politik nasional apalagi menjadikannya sebagai portofolio politik kedalam struktur dan sistim pemerintahan yang seharusnnya sudah dimuali pada tahun 1970 - 1980an,
kedua penggunaan dan pengelolaan asset-aset sumberdaya alam yang tidak terkendali oleh operesi model pembangunan yang berorientasi expor dan tidak untuk membangun fondasi dasar pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan nasional.
Ketiga Krisis Ecologi dan kerusakan lingkungan yang mengarah pada ecocide di Indonesia.

MP3EI sendiri bisa dikatakan sebagai cikal bakal indikator persoalan dan kerusakan lingkungan hidup Indonesia dimasa mendatang.

Penutup
Tentu degradasi lingkungan memiliki sebuah efek yang menyengsarakan kehidupan umat manusia. Tanpa lingkungan yang layak hidup, hak-hak kemanusiaan lainnya tak dapat dicapai atau tak ada artinya.

Pada dekade ini, dunia telah menyaksikan sebuah perkembangan kerusakan yang maha dahsyat baik dalam hal kualitas maupun cakupannya. Peningkatan lavel teknologi, populasi dan aktifitas industri semakin meyakinkan bahwa tanpa tindakan segera, situasi ini akan tak terhindarkan lagi memburuk secara drastis.  Upaya untuk memulihkan lingkungan hidup bukan merupakan upaya parsial dan hanya berbatas pada satu masa program kerja pemerintahan, melainkan satu upaya uang holistic dan melingkupi segenap sendi kehidupan.  Peran-peran pemerintah selaku pelaksana mandat Undang-Undang Dasar Negara harus diletakkan pada kepentingan rakyat dan kepentingan generasi mendatang.  Untuk itu : 
  1. Hak Atas Lingkungan penting dimasukan sebagai prisip di dalam semua  kebijakan dan perundang-undang ditingkat internasional, regional dan nasional yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam, sebagaimana pula dapat terimplementasikan sampai pada pelaksanaan.
  2. Pemerintah harus membuat visi dalam bentuk cetak biru lingkungan hidup sebagai pijakan praksis dalam pengimplemantasian pembangunan lingkungan hidup yang dapat diakses oleh rakyat.
  3. Mekanisme yang tersedia dalam hukum nasional untuk sementara harus dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam rangka penegakan hak atas lingkungan di negara ini.  Pada saat yang bersamaan perlu terus-menerus diupayakan terobosan hukum yang menjamin terciptannya keadilan ekologi dan keberlanjutan kehidupan.
  4. Diperlukan pengadilan lingkungan hidup yang independen dan berkeadilan, yang sifatnya ad hoc bagi para penjahat lingkungan yang selama ini telah menyebabkan berbagai bencana, kemiskinan struktural serta kejahatan lingkungan di Indonesia.
  5. Gagasan dan gerakan yang mendesakan agar para penjahat lingkungan dikategorikan sebagai pelaku kejahatan HAM, baik di tingkat nasional, regional maupun internasional perlu diperkuat.

Dengan demikian maka upaya untuk Pemulihan Indonesia terintegrasi dalam upaya pembangunan Nasional.




[1] Deddy Ratih, Anggota Individu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.
[2] Hak Atas Lingkungan sebagai Hak Asasi Manusia oleh M. Ridha Saleh, WALHI 2004
[3] RKP 2014 KemenPU, Mei 2013
[4] Data perhitungan RAD GRK Propinsi Lampung dengan base line tahun 2005 – 2013, BLHD Lampung 2013,
[5] Pidato sambutan Kepala Bappeda Propinsi Lampung pada Focus Group Discussion MP3EI Koridor Sumatera, 20 Januari 2014
[6] Laporan Akhir Tahun KPA, 2013.
[7] M. Ridha Saleh, Makalah tentang Ecocide

Senin, 11 Mei 2015

Menuju Paris 2015
Oleh : Deddy Ratih[1]

Pendahuluan
Dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia pada Amandemen ke-2 UUD 1945, Pasal 28H ayat (1) menyebutkan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dun batin, bertempal tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta herhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Dalam pasal 28 H ayat 1 ini, dalam tafsir-nya, hak hidup layak dan bersih tidak hanya merujuk pada fisik lingkungan hidup, lebih dari itu, hak hidup layak dan bersih merupakan esensi dan eksistensi manusia untuk di jaminan agar terpenuhinya hak hidup manusia[2]

Esensi penting lingkungan hidup sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dibicarakan secara parsial. Lingkungan Hidup harus dipandang secara holistik dan  mengandung sistem yang teratur serta meletakkan semua unsur di dalamnya secara setara.

Dalam bahasan lain lingkungan hidup di tafsirkan secara pragmatis dan komoditis. Pikiran-pikiran dan dominasi positivistik menjadi racun yang selalu mengkuantitaskan skala lingkungan hidup. Demikian pula lingkungan hidup selalu hanya dilihat dan dipandang sebagai dampak dari praktek-praktek sebelumnya. Padahal, kalau dilihat dalam konteks yang sistemik lingkungan hidup sebagai sebuah system tentu tunduk pada sebuah sistem hukum alam. Dengan demikian suatu system tersebut dapat berlangsung dengan seimbang jika kualitas komponen di dalamnya tetap berjalan stabil.

Sebagai sebuah sistem kehidupan, maka lingkungan hidup merupakan sebuah kehidupan yang terdiri dari kehidupan masa lalu, kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Itulah esensi dari sumber-sumber kehidupan.

Perubahan Iklim adalah bagian yang tidak terpisahkan dari esensi lingkungan hidup, sehingga makna dari mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harusnya merujuk pada pertanggung jawaban Negara terhadap Hak atas lingkungan hidup sebagaimana mandate UUD 1945 pasal 28 H tersebut diatas.

Dalam UU PPLH Nomor 32 tahun 2009, setidaknya ada di pasal 57 ayat (4) Pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi : a. upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; Pasal 63 ayat (1) huruf f ; ayat (2) huruf e; ayat (3) huruf e  tentang inventarisasi GRK.  Tetapi tidak menjadi hal yang diutamakan dalam kebijakan-kebijakan lingkungan di tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota.  Baru tahun 2011 muncul satu regulasi yang dikeluarkan oleh Presiden melalui Perpres nomor 61 tentang RAN GRK dan Perpres nomor 71 tentang inventarisasi RAN GRK yang kemudian diturunkan dalam Rencana Aksi Daerah penurunan emisi Gas Rumah Kaca.[3]

Konfrensi Para Pihak Dalam isu perubahan iklim
Peran Indonesia dalam pertemuan-pertemuan global terkait perubahan iklim nampak dari beberapa regulasi yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia, sebut saja dengan ratifikasi yang dilakukan terhadap UNFCCC melalui Undang-undang nomor 6 tahun 1994.

Indonesia juga menjadi bagian dari uji coba implementasi mekanisme fleksible (flexible mecanism) yang menggabungkan dua inisiatif yaitu Joint Implementation (JI); dan Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) yang memungkinkan negara-negara industri untuk mendanai kegiatan pengurangan emisi di negara berkembang sebagai alternatif untuk pengurangan emisi domestik.   Hal tersebut merupakan hasil dari COP ke 6 tahun 2001 di Bonn, Jerman.  Namun sayangnya tidak ada kajian yang komprehensip dalam mengevaluasi mekanisme tersebut.

Semenjak COP ke 11 di Montreal Canada, dimana isu Reduksi Emisi diejawantahkan melalui RED, Indonesia sebagai negara “pemilik” hutan mulai dilihat sebagai salah satu negara yang bisa dijadikan proyek percontohan.

Selanjutnya merujuk pada Bali Road Map, dimana Konferensi Para Pihak  ditahun 2007 di Bali memutuskan untuk meluncurkan proses yang komprehensif untuk memungkinkan pelaksanaan Konvensi melalui aksi kerjasama jangka panjang, sekarang, hingga dan setelah 2012, dengan mengatasi: (yang disebut pilar atau blok bangunan)

Sebuah visi bersama untuk aksi kerjasama jangka panjang, termasuk tujuan global jangka panjang untuk pengurangan emisi.
-     Aksi Peningkatan nasional / internasional mitigasi perubahan iklim.
-     Peningkatan tindakan adaptasi.
-    Peningkatan aksi pada pengembangan dan transfer teknologi untuk mendukung tindakan mitigasi dan adaptasi.
-     Peningkatan aksi pada penyediaan sumber daya keuangan dan investasi untuk mendukung tindakan mitigasi dan adaptasi dan kerjasama teknologi.

Pada COP Bali mulailah REDD+ diusulkan menjadi solusi jangka panjang mitigasi perubahan iklim global, disusul dengan hadirnya Conpenhagen Accord di tahun 2009 yang mendorong komitmen negara-negara maju dalam pendanaan dan metodologi REDD+.  Namun sampai dengan COP di Cancun, Mexico 2010 komitmen negara-negara maju belum 100% terwujud dan REDD+ kemudian diusulkan menjadi suatu komitmen bertahap serta mulai dibahas apasaja elemen-elemen dalam REDD+ dan membangun panduan sistem informasi safeguard (SIS).   Ditahun 2012, Doha Climate Gateway, Dokumen kolektif berisi:

1.   Amandemen Protokol Kyoto, menampilkan sebuah periode komitmen kedua berjalan dari tahun 2012 sampai 2020 dibatasi dalam ruang lingkup 15% dari emisi karbon dioksida global karena kurangnya komitmen dari Jepang, Rusia, Belarus, Ukraina, Selandia Baru (maupun Amerika Serikat dan Kanada, yang tidak pihak dalam Protokol pada periode itu) dan karena fakta bahwa negara-negara berkembang seperti China (emitor terbesar di dunia), India dan Brazil tidak dikenakan emisi pengurangan di bawah Protokol Kyoto.
2.   Bahasa pada Loss and damage (kerugian dan kerusakan), diformalkan untuk pertama kalinya dalam dokumen konferensi.  Konferensi ini membuat sedikit kemajuan dalam pendiskusian Green Climate Fund.

Sampai dengan tahun 2013 yang lalu, dimana COP berlangsung di Warsawa belum nampak secara pasti apa inisiatif yang benar-benar kuat dalam mengurangi dampak perubahan iklim global.  Dalam Cop ke 19 di Warsawa yang kuat muncul dipermukaan adalah pendiskusian 7 (tujuh) paket kepututusan terkait REDD+_, diantaranya pendanaan, institusi, NFMS (National Forest Monitoring System), MRV (Measurement Reporting and Verification), penilaian FREL (Forest Referance Emission Level; lihat http://www.reddplus.go.id/kegiatan/frel), pelaporan SIS (safeguard Information System) dan pemicu deforestasi.  Indonesia sebagai negara dengan kerentanan tinggi terhadap dampak perubahan iklim tidak muncul dengan satu usulan kuat terkait upaya mitigasi dan adaptasi yang komprehensip.

Dalam perundingan perubahan iklim sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2014, kita bisa melihat bahwa isu adaptasi belum menjadi satu isu kuat dan masih menjadi “sampiran” dalam setiap perundingan, berbeda dengan mitigasi perubahan iklim.  Sangat sedikit keputusan terkait adaptasi perubahan iklim yang dibuat secara global, ini bisa kita telusuri dengan melihat hasil-hasil keputusan COP, seperti Program Kerja Adaptasi Nairobi (Nairobi Work Programme) pada COP 12 di Nairobi, Kenya tahun 2006; Komite Adaptasi (Adaptation Committee), Rencana Adaptasi Nasional (National Adaptations Plans), Kerugian dan Kerusakan (Loss and Damage) yang diusulkan dan didiskusikan dalam COP ke 16 di Cancun, Mexico dan kembali dibahas pada COP ke 17 di Durban, Afrika Selatan.  Namun sampai dengan COP ke 20 di Lima, Peru belum ada keputusan yang signifikan.

Pemerintah Indonesia sejauh ini nampak belum melakukan satu konsolidasi problem struktural dalam negerinya baik itu terkait mitigasi maupun adaptasi kedalam usulan konkrit upaya penanganan Nasional terhadap dampak perubahan iklim. Trend meningkatnya kasus bencana akibat perubahan iklim dan kerusakan lingkungan hidup (Bencana Ekologis menurut istilah WALHI) seharusnya menjadi satu kajian yang bisa dijadikan landasan bagi upaya domestik Indonesia dalam menghadapi dampak perubahan iklim.  Salah satu dasar bagi upaya memperkuat adaptasi perubahan iklim Nasional secara domestik adalah dengan mulai mengalihkan penggunaan energi berbasis bahan bakar fosil ke energi terbarukan non nuklir.

Merujuk pada COP ke 20 di Lima, Peru dimana ada beberapa keputusan COP Warsawa yang dibahas di Lima antara lain : ruang lingkup, format, tenggat waktu dan proses pengkajian ulang. Selain itu untuk ruang lingkup sendiri terdapat  tiga komponen utama; adaptasi, mitigasi, dan alat implementasi ( pembangunan kapastias, teknologi, dan pendanaan), kesemuanya itu pun nantinya menjadi acuan pada COP ke 21 tahun 2015 di Paris, Perancis.

Hasil keputusan COP ke 20 di Lima, Peru yang dikenal dengan Lima Call for Climate Action. Dalam keputusan ini, semua Negara Pihak menyepakati bahwa upaya pengendalian dan penanganan perubahan iklim masa depan akan dilaksanakan di bawah Konvensi Perubahan Iklim dengan menggunakan keluaran legal yang akan disepakati pada tahun 2015. Keluaran legal yang memiliki kekuatan mengikat bagi seluruh Negara Pihak ini dapat berbentuk Protokol (sebagai pengganti dari Protokol Kyoto), instrumen legal lain, maupun kesepakatan dengan kekuatan implementasi legal. Dalam keputusan yang sama, seluruh Negara Pihak juga menyepakati bahwa intended nationally determined contributions (INDCs) yang merupakan bentuk partisipasi aktif masing-masing Negara Pihak, harus disampaikan oleh seluruh Negara Pihak sebelum berlangsungnya COP ke 21 di Paris pada akhir 2015.  Selain Lima Call for Climate Action, COP20/CMP10 di Lima juga menghasilkan berbagai keputusan penting terutama yang terkait dengan mekanisme pendanaan di bawah Konvensi maupun di bawah Protokol Kyoto hingga 2020, serta keputusan terkait dengan adaptasi hingga 2020.   Keputusan yang juga diadopsi pada COP20/CMP10 UNFCCC di Lima adalah Lima Work Programme on Gender  untuk meningkatkan kesetaraan gender dan  sensitivitas gender dalam mengembangkan dan menerapkan kebijakan iklim.  Juga disepakati Lima Ministerial Declaration on Education and Awareness-raising dengan tujuan mengembangkan strategi pendidikan yang memasukkan isu perubahan iklim dalam kurikulum, sementara juga meningkatkan kesadaran tentang perubahan iklim dalam desain dan pelaksanaan pembangunan nasional dan strategi perubahan iklim.

Lalu bagaimana Indonesia dalam menyambut hasil COP ke 20 tahun 2014 di Lima, Peru ini.?
Sebagaimana perundingan-perundingan para pihak sebelumnya, Indonesia masih belum bisa merumuskan satu langkah kerja yang terkonsolidasi terutama merumuskan langkah strategis penggabungan Mitigasi dan Adaptasi.  Pengkonsolidasian adaptasi dan mitigasi menuntut satu regulasi kuat yang mengkonsolidasikan juga sektor-sektor terkait.

Kebijakan Level Nasional dan Daerah terkait Perubahan Iklim[4]

Tabel 1. Kebijakan Negara dan Negosiasi perubahan iklim (COP)
2004
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Ratifikasi Protokol Kyoto melalui UU No. 17/2004
RAN-PI (LH) yang diintegrasi melalui RPJMN (2009-2014)
Perpres 46/2008 Pembentukan DNPI
Kep. 44/M/ PPN/09/2009 tentang Pembentukan ICCTF
Draft STRANAS REDD+ oleh Bappenas
Perpres 71/2011 tentang Inventarisasi GRK
SK Satgas REDD tentang Stranas REDD


Permenhut 68/2008 tentang pengurangan emisi karbon
PP no. 70/2009 tentang Pembentukan Tim Aksi Energi

Perpres 61/2011 tentang RAN GRK
SK Menhut No. 20/Menhut/II/2012 tentang pengurangan… karbon



Permenhut No. 30/Men-II/2009 tentang REDD

Permenkes 1018/PER/V/2011 tentang Strategi adaptasi sektor kesehatan terhadap dampak Perubahan Iklim




Pernyataan SBY mengenai target penurunan emisi (26% BAU, 41% bantuan LN)

Keppres 5/2011 tentang Satgas REDD




Permenhut 16/2009 tentang … karbon






SK Menhut no. 13/2009 tentang Pokja Perubahan Iklim



Ratifikasi KP
Bali
Poznan
Coppenhagen
Cancun
Durban
Doha

Kebijakan terkait perubahan iklimpun relative kosong dan kalaupun ada sangat parsial.
1.  Kebijakan yang muncul sejak 2009 (pidato sby di pittsburg) tidak memiliki dasar yang kuat, misal penetapan penurunan emisi nasional (26%/41%). Yang kemudian dilanjutkan dengan Perpres tentang RAN GRK (dilanjutkan dengan RAD GRK).
2.   Rencana Pembangunan Nasional yg menghasilkan RPJM & RPJP melalui Musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan) mulai tingkat desa s/d nasional sama sekali tidak di integrasikan dalam RAN Baik Mitigasi maupun Adaptasi. Dokumen RAN GRK sama sekali tidak menyinggung soal RPJM/RPJP.
3.   Kebijakan perubahan iklim Indonesia (terutama mitigasi) banyak dikeluarkan pasca ditandatanganinya Letter of Intens. Itu sebabnya kami sebutkan terjadi cukup lama kekosongan kebijakan negara sejak 2004-2011 (kecuali permenhut ttg REDD yg dikeluarkan tahun 2007 karena adanya pinjaman dari World Bank untuk membuat pokja REDD & kebijakan REDD di Kemenhut untuk menyambut COP 13, Bali)

RAD GRK adalah dokumen yang menyediakan arahan bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan berbagai kegiatan penurunan emisi, baik berupa kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi GRK dalam kurun waktu tertentu. Dasar hukum utama bagi pemerintah level provinsi untuk menyusun dokumen ini adalah Peraturan Presiden No. 61/2011 tentang RAN GRK yang menjabarkan target penurunan emisi GRK nasional pada tahun 2020 dapat dicapai dengan kontribusi dari pemerintah daerah. [5]

RAD GRK berisi upaya-upaya penurunan emisi GRK yang bersifat multi sektor dengan mempertimbangkan karakteristik, potensi, dan kewenangan daerah, serta terintregasi dengan rencana pembangunan daerah. Dalam menyusun RAD GRK, harus sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi/Kabupaten-Kota (RTRWP/K) yang selanjutnya menjadi masukan dan dasar penyusunan dokumen-dokumen rencana strategis daerah seperti: Renstra SKPD, RPJMD, RKPD dan APBD. Kegiatan-kegiatan untuk penurunan emisi GRK yang dilakukan atau difasilitasi oleh pemerintah menggunakan judul program dan kegiatan yang sesuai dengan RPJMN, RPJMD, dan RKP/RKPD.

Proses penyusunan RAD GRK bersifat partisipatif dan menggunakan referensi yang tersedia di tingkat nasional seperti Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang RAN GRK dan Pedoman Pelaksanaan Rencana Aksi Penurunan Emisi GRK. RAD GRK dapat dikaji ulang sesuai dengan kebutuhan daerah dan nasional serta perkembangan yang ada.

Landasan hukum penyusunan RAD GRK antara lain adalah:
1.       Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change.
2.       Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
3.       Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
4.       Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
5.       Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Penguatan Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah.
6.       Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014.
7.       Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunanan Emisi Gas Rumah Kaca.

Substansi inti dari RAD GRK terdiri dari 5 (lima) elemen, yaitu:
1.       Sumber dan Potensi Penurunan Emisi GRK
2.       Baseline BAU emisi GRK
3.      Usulan Rencana Aksi Penurunan Emisi GRK (mitigasi), baik berupa kegiatan inti maupun kegiatan pendukung.
4.       Usulan prioritas/skala prioritas dari usulan-usulan aksi mitigasi terpilih.
5.     Lembaga Pelaksanaan dan pendanaan kegiatan yang sudah diidentifikasi, pengukuran dan pemantauan program/ kegiatan RAD GRK di daerah.

Berdasarkan dokumen RAN GRK, disebutkan bahwa kebijakan dan strategi umum yang diperlukan untuk melaksanakan RAD GRK di daerah antara lain dengan pemetaan kelembagaan publik dan swasta yang akan terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung, mengidentifikasi sumber-sumber pendanaan baik yang berasal dari daerah (APBD), nasional(APBN), swasta serta bantuan hibah untuk membiayai kegiatan upaya menyusun waktu/jadwal pelaksanaan dari rencana aksi yang telah dibuat untuk keperluan pengukuran, pemantauan, evaluasi dan pelaporan penurunan emisi GRK daerah.

Sosialisasi rencana implementasi RAD GRK perlu dilakukan agar mendapat tanggapan yang sesuai dari masyarakat dan pelaku usaha atau lembaga/organisasi yang mewakilinya.Namun pada kenyataannya Draft Peraturan Gubernur sebagai landasan RAD GRK sudah disiapkan oleh Bappenas.

Dari fakta lapangan, ditemukan bahwa badan-badan yang terlibat di tingkat daerah tidak mempunyai kesamaan pemahaman dan tidak berkoordinasi dengan baik.

Arah Kebijakan Perubahan Iklim Indonesia dan Agenda Komitmen Kedua Paris 2015
Dalam menghadapi COP ke 21 di Paris Perancis 2015 nanti, Indonesia sudah harus memiliki dasar-dasar yang kuat dalam upaya Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklimnya.  Hal ini sangat penting segera dilakukan mengingat agenda Paris merupakan salah satu pintu masuk dalam upaya global membangun komitmen dan menyepakati aksi global dalam menanggulangi dampak perubahan iklim.

Penting bagi Indonesia untuk memiliki regulasi Nasional yang lebih kuat untuk menjadi dasar bagi perundingan di Paris, karena merujuk pada keputusan Lima (Peru) dimana dalam perundingan di Paris nanti akan diputuskan bahwa upaya pengendalian dan penanganan perubahan iklim masa depan akan dilaksanakan di bawah Konvensi Perubahan Iklim dengan menggunakan keluaran legal” dengan kata lain Indonesia harus mengikuti keputusan tersebut sementara saat ini perumusan pengendalian dan penanganan perubahan iklim pada level Nasional masih terkotak-kotak.

Penanganan mitigasi yang terlalu ekslusif melalui suatu badan khusus (BP REDD) yang saat ini berlangsung justru mengakibatkan semakin parsial/terkotak-kotaknya upaya pengendalian dan penanganan perubahan iklim.  Konsentrasi terpusat pada upaya mitigasi berakibat pada kurangnya perhatian pada sisi adaptasi, walaupun telah dimulai upaya penanganan adaptasi melalui upaya BAPPENAS dengan Sistem Informasi data Kerentanan, namun inisiatif berupa 15 proyek di Indonesia ini harusnya sudah masuk pada tahap lebih maju dimana adaptasi perubahan iklim sudah seharusnya menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Pendek dan Menengah.

Berpatokan pada penanganan bencana ekologis, dapat dilihat bahwa dampak perubahan iklim tidak menjadi satu panduan pembangunan nasional sehingga upaya untuk memperluas eksploitasi sumberdaya alam dalam pembangunan nasional melalui berbagai proyek pembangunan tidak mampu dikontrol, ijin-ijin perluasan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri pada kawasan gambut dan hutan alam masih terus berlangsung demikian juga dengan eksploitasi kawasan karst serta pembangunan infrastruktur dan pembangkit energi berbahan baku batubara.

Pengendalian dan penanganan perubahan iklim tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, salah satu upaya yang harus segera dilakukan adalah mewujudkan aturan tentang batasan kemampuan lingkungan hidup (daya tampung dan daya dukung lingkungan) melalui Kajian Lingkungan Hidup Strategis.  Demikian juga model konsolidasi antar sektor serta antara nasional dan daerah harus bisa dirumuskan dengan mengacu pada satu regulasi pokok terkait upaya pengendalian dan penanganan perubahan iklim.

Rekomendasi khusus agar dapat mencapai hal tersebut, Negara sebaiknya :

1.       Menyiapkan dasar hukum yang kuat dan tak berbatas rezim, yakni setingkat Undang-Undang;
2.      Membuka ruang partisipasi dan informasi yang menjadi hak bagi rakyat sebagai pemegang hak, juga membuka ruang partisipasi dan ruang untuk menjalankan mandat bagi Pemerintah Daerah;
3.       Menyusun kebijakan berdasarkan karakteristik lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi daerah.

Kesiapan Indonesia dalam menyambut Pertemuan Para Pihak di Paris, Perancis pada akhir 2015 nanti sangat tergantung pada kemampuan Indonesia mengkonsolidasikan kepentingan perlindungan lingkungan hidup dan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam serta penyelesaian problem struktural terkait hak tenurial masyarakat lokal dan masyarakat adat.

Peran Masyarakat Sipil di Indonesia dalm mewujudkan Keadilan Iklim
Lalu bagaimana peran masyarakat sipil dalam mendorong terwujudnya keadilan iklim.?  Berikut tabel yang coba dibuat penulis terkait respon organisasi masyarkat sipil di Indonesia, mungkin gambaran dalam tabulasi tersebut agak subyektif berdasarkan interaksi penulis dengan issue dan kelompok masyarakat sipil yang terlibat dalam advokasi perubahan iklim di Indonesia.


Tabel sikap CSO, issue perubahan iklim dan korelasinya dengan COP (inisiatif internasional)
2004
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Ratifikasi KP
Bali
Poznan
Coppenhagen
Cancun
Durban
Doha
Warsawa
Peru




Hasil/Keputusan





Bali Road Map
Kesepakatan utk membahas pembiayaan dana utk negara2 miskin
Coppenhagen Accord
Cancun Agreement
Durban Platform
Doha Climate gate away
The Warsaw Framework for REDD+
Lima Call for Climate Action
Lima Ministerial Declaration on Education and Awareness-raising




Sikap CSO




Membentuk CAN Indonesia
Sebelum COP 13 CSO Indonesia membentuk CSF. Hal tsb terkait jg hsl Nairobi yg mulai mendiskusikan peran WB serta model mitigasi berbasis lahan (RED).
Pasca COP, CSF aktif mengkonsolidasikan diri dan mendesiminasi informasi kpd anggota
inisiatif HELP disuarakan dg issue pengikatnya kepentingan utara – selatan.
Issue keterlibatan WB dalam perubahan iklim menurun
Catatan : CSF hadir dg bbrp riset dan terbitan.  Issue REDD+ mulai menjadi wacana yg diperdebatkan.
-        CSO di Indonesia sebagian mulai terlibat dalam issue REDD baik yg mempromosikan maupun yg mengkritisinya hingga menolak skema REDD+.
-        Mendorong Moratorium perijinan di kawasan hutan dan lahan gambut
Terbelah antara pendukung REDD+ dan menolak skema REDD+.  Permasalahan ini jg terkait dg hsl cancun yg tdk mampu memberikan gambaran yg jelas terkait skema pendanaan dan jg tanggung jawab negara utara.  Issue penolakan terhadap keterlibatan world bank dlm pendanaan iklim kembali menguat
Mendorong adaptasi dan mulai mendiskusikan pendanaan iklim disebabkan disepakatinya pembentukan Green Climate Fund.
Pembentukan GCF di Durban memperlihatkan issue REDD+ lbh dominan sepanjang 2011 shg penolakan keterlibatan WB saat COP di Cancun tdk berlanjut.
-        REDD+ masih mjd issue disamping issue pendanaan iklim, bbrp CSO mulai spesifik terlibat dg GCF.
-        Issue green grabing diangkat oleh bbrpa CSO terkait praktek model kerja project REDD+ di Indonesia
Issue adaptasi kembali mencuat namun dominasi issue mitigasi melalui REDD+ masih mjd issue yg kuat dimana secara khusus dibahas dan menghasilkan satu keputusan utama
Sikap CSO di Indonesia tidak merujuk pada hasil keputusan Lima (Peru).  Dimana issue  di Indonesia masih berkutat ttg REDD+ dan kebijakan pendanaan sementara pasca Peru (Lima) seharusnya sudah mulai membicarakan ttg second commitment pasca Kyoto 
























                                                                                                   
Dengan melihat tabulasi diatas, maka bisa dikatakan bahwa agenda-agenda yang muncul  berkorelasi dengan issue dan inisiatif yang berkembang di tingkat donor.


Bersambung.......




[1] Anggota Individu WALHI, pemerhati masalah perubahan iklim
[2] Hak Atas Lingkungan sebagai Hak Asasi Manusia oleh M. Ridha Saleh, 2004
[3] Working Paper Tanggung Jawab Negara Dalam Merespon Perubahan Iklim, Deddy Ratih, WALHI, 2012
[4] Working Paper Tanggung Jawab Negara Dalam Merespon Perubahan Iklim, Deddy Ratih, WALHI, 2013
[5] Buku Pedoman Penyusunan RAD GRK