Senin, 18 Juli 2016

Hak Rakyat Atas Lingkungan Hidup Dalam Kacamata Pembangunan Inprastruktur Nasional
Oleh : Deddy Ratih[1]

Pendahuluan

Dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia pada Amandemen ke-2 UUD 1945, Pasal 28H ayat (1) menyebutkan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dun batin, bertempal tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta herhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Dalam pasal 28 H ayat 1 ini, dalam tafsir-nya, hak hidup layak dan bersih tidak hanya merujuk pada fisik lingkungan hidup, lebih dari itu, hak hidup layak dan bersih merupakan esensi dan eksistensi manusia untuk di jaminan agar terpenuhinya hak hidup manusia[2]

Lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati oleh manusia bersama makhluk hidup lainnya. Masing-masing tidak berdiri sendiri dalam proses kehidupan, saling berinteraksi dan membutuhkan. Kehidupan yang ditandai dengan interaksi dan saling bergantung secara teratur tersebut merupakan tatanan ekosistem yang di dalamnya mengandung esensi penting lingkungan hidup sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dibicarakan secara parsial. Lingkungan Hidup harus dipandang secara holistik dan  mengandung sistem yang teratur serta meletakkan semua unsur di dalamnya secara setara.

Dalam banyak definisi, lingkungan hidup masih ditafsirkan secara konvensional, lingkungan hidup dianggap sebagai obyek penunjang kehidupan. Perspektif seperti ini masih melihat dan menempatkan lingkungan hidup sebagai obyek eksploitasi untuk menunjang kehidupan. Padahal esensi lingkungan hidup sendiri adalah sebuah kehidupan dimana ruang lingkup dan waktunya melingkupi kehidupan-kehidupan yang ada di dalamnya.

Dalam bahasan lain lingkungan hidup di tafsirkan secara pragmatis dan komoditis. Pikiran-pikiran dan dominasi positivistik menjadi racun yang selalu mengkuantitaskan skala lingkungan hidup. Demikian pula lingkungan hidup selalu hanya dilihat dan dipandang sebagai dampak dari praktek-praktek sebelumnya. Padahal, kalau dilihat dalam konteks yang sistemik lingkungan hidup sebagai sebuah system tentu tunduk pada sebuah sistem hukum alam. Dengan demikian suatu system tersebut dapat berlangsung dengan seimbang jika kualitas komponen di dalamnya tetap berjalan stabil.

Sebagai sebuah sistem kehidupan, maka lingkungan hidup merupakan sebuah kehidupan yang terdiri dari kehidupan masa lalu, kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Itulah esensi dari sumber-sumber kehidupan.

Dengan demikian maka adalah tanggung jawab Negara untuk memastikan terpenuhinya Hak Hidup Layak dan Mendapatkan Lingkungan Hidup yang Bersih dan Sehat.  Merujuk pada Konstitusi Negara Republik Indonesia yaitu UUD 1945, maka seharusnya regulasi yang menjadi landasan rencana pembangunan Nasional hendaknya memberikan jaminan tersebut.

Model Pembangunan yang Menuai Krisis
Dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir tercatat ribuan bencana ekologis akibat model pembangunan yang tidak memperhatikan lingkungan, bencana banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan serta kekeringan merupakan rangkaian siklus tahunan yang berakibat pada kerugian yang sangat besar baik dari sisi Pemerintah dalam upaya memperbaiki infrastruktur yang rusak maupun dari sisi masyarakat yang dirugikan secara materiil dan non materiil.

Salah satu contoh dari bencana ekologis yang terjadi adalah banjir bandang yang melanda Kota Manado di Sulawesi Utara, penyebab utama dari kejadian tersebut adalah berkurangnya daya tampung dan daya dukung lingkungan serta pengembangan model pembangunan yang tidak memperhatikan karakteristik ekologi setempat.

Dalam versi yang lain, kejadian kebakaran hutan dan lahan gambut yang berakibat pada bencana ekologi kabut asap di Sumatera, Kalimantan dan Papua.  Kejadian ini merupakan buah dari ketidak mampuan pemerintah dalam merespon ketidakseimbangan lingkungan hidup sebagai akibat dari perluasan perkebunan kelapa sawit skala besar dan kebun kayu skala besar (HTI).

Diberbagai tempat model pembangunan mengacu pada upaya mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi semata selain itu juga paradigma pembangunan di beberapa tempat mengasumsikan bahwa infrastruktur transportasi adalah jalan raya (bertumpu pada pengembangan angkutan darat), sementara itu disisi lain pembangunan tersebut menghilangkan fungsi sungai sebagai salah satu infrakstruktur yang harus diperhatikan.  Fungsi sungai juga berubah seiring bertambah padatnya pemukiman dan perkantoran serta kawasan industry.

Kawasan-kawasan pertanian di Pulau Jawa, sebagian besar berubah menjadi kawasan industry dan pemukiman, infrastruktur pengairan yang dulu pernah dibangun menjadi terbengkalai dan tidak tepat fungsi.

Model pembangunan saat ini mengacu pada visi dan misi presiden, dimana perencanaan pembangunan  diturunkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) per tahun.  Sehingga visi jangka panjang pembangunan tidak mampu tercermin dalam rencana pembangunan tersebut.  Visi Indonesia 2014 yang digariskan dalam RPJMN 2010-2014 adalah “Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan” yang dijabarkan ke dalam 5 (lima) agenda pembangunan yaitu: (1) Pembangunan ekonomi dan Peningkatan Kesejahteraan Rakyat; (2) Perbaikan Tata Kelola Pemerintahan; (3) Penegakan Pilar Demokrasi; (4) Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi; dan (5) Pembangunan yang Inklusif dan Berkeadilan. Sedangkan sasaran utama RPJMN 2010-2014 dibagi dalam 3 (tiga) kelompok yaitu: (1) Sasaran Pembangunan Ekonomi dan Kesejahteraan; (2) Sasaran Perkuatan Demokrasi; dan (3) Sasaran Penegakan Hukum[3]

Mater Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia dan upaya Pemulihan Indonesia

Dalam dokumen revisi MP3EI disebutkan, percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi akan menempatkan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan per kapita yang berkisar antara USD 14.250 – USD 15.500 dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USD 4,0 – 4,5 triliun. Untuk mewujudkannya diperlukan pertumbuhan ekonomi riil sebesar 6,4 – 7,5 persen pada periode 2011 – 2014, dan sekitar 8,0 – 9,0 persen pada periode 2015 – 2025. Pertumbuhan ekonomi tersebut akan dibarengi oleh penurunan inflasi dari sebesar 6,5 persen pada periode 2011 – 2014 menjadi 3,0 persen pada 2025.

 





Melihat dari koridor-koridor ekonomi yang dibentuk nampak porsi keberpihakan terhadap pembangunan ekonomi masyarakat sangat kurang dimana potensi-potensi yang menjadi pilihan dalam tiap koridor kemudian diterjemahkan dalam pengembangan ekonomi berbasis korporasi dan modal besar.  Hal ini bisa dilihat dari berbagai kegiatan ekonomi utama yang disodorkan, misalnya pada koridor Sumatera sebagai Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi.  Dengan 6 (enam) kegiatan ekonomi utama yaitu Kelapa Sawit, Karet, Batubara, Perkapalan, Besi Baja, dan Kawasan Strategis Nasional Selat Sunda.  Dari situ sudah nampak terlihat bahwa penikmat dari model ekonomi yang dikembangkan adalah korporasi.  Bila kita telaah lebih dalam lagi, misal pada Propinsi Lampung,  sebagai daerah agraris lebih dari 50% penduduk Lampung hidup dari sektor pertanian dalam arti yang luas, dimana sektor pertanian di Lampung menyumbang 36% PDRB Propinsi Lampung dalam statistic Lampung tercatat dari daerah ini menyumbang 22,63% produksi nasional untuk Kopi Robusta, 27,58% Lada Hitam, serta 26% produksi nanas.  Namun sangat bertolak belakang dari semua itu, dalam pertemuan Forum Gubernur se Sumatera dan Rakor MP3EI yang dihadiri oleh para Gubernur se Sumatera dan Banten pada tanggal 20 Maret 2013 di Propinsi Lampung, justru pertanian di arahkan pada sektor non unggulan propinsi-propinsi berbasiskan pertanian rakyat.   Dari Perhitungan RAD GRK Propinsi Lampung diketahui bahwa emisi terbesar Propinsi tersebut berasal dari perubahan dari hutan ke non hutan yaitu sebesar 70% lebih, dengan demikian problem lingkungan sebagai akibat dari berkurangnya hutan di Propinsi tersebut sangat tinggi[4].

Dengan demikian maka percepatan pembangunan ekonomi yang direncanakan justru menempatkan posisi rakyat sebagai penonton kegiatan ekonomi tersebut terlebih lagi Pemerintah Daerah Lampung menetapkan proyek investasi di Lampung yang menjadi bagian dari pelaksanaan MP3EI meliputi[5] :
  1.  Kawasan Industri Maritim (KIM) yang merupakan proyek investasi PT Pertamina, dikembangkan oleh PT Repindo Jagad Raya dengan nilai investasi sebesar Rp. 4 triliun.
  2. Industri minyak kasar (minyak nabati) di kabupaten Tulang Bawang oleh PT Sumber Indah Perkasa dengan nilai investasi Rp. 1,05 triliun.
  3. Kawasan Strategis Infrastruktur Selat Sunda
  4. Pembangunan PLTP (pembangkit listrik tenaga panas bumi) di Ulu Belu, Tanggamus, Suoh dan rajabasa.
Dari pemaparan tentang MP3EI diatas nampak bahwa proses akumulasi kekayaan disatu sisi dan penghisapan serta pemiskinan di sisi lainnya, bukan terjadi secara alamiah tetapi berdasarkan suatu rancangan kebijakan politik-ekonomi.  Dengan begitu, jelas hak atas lingkungan belum secara maksimal atau sensitif disepakati oleh banyak orang menjadi hak fundamental yang juga harus diakui secara politik. Kondisi seperti inilah yang bisa disebut sebagai suatu “ketidakpedulian umat manusia” di dunia atas lingkungan. Padahal, sudah banyak potret peristiwa ataupun perilaku yang menyimpang, dalam arti melanggar HAM dipicu oleh persoalan-persoalan seputar pengelolaan lingkungan yang tiada lain disebabkan kuatnya penetrasi atas paradigma atau paham pembangunan negara-negara kapitalis bersama konsep globalisasinya atau liberalisasi pasarnya.

Disisi lain sebagaimana disebutkan di atas, bencana ekologis sebagai akibat dari model pembangunan yang ada cenderung meningkat.  WALHI mencatat, bencana ekologis pada tahun 2013 mengalami lonjakan yang sangat tajam.  Jika pada tahun 2012 banjir dan longsor hanya terjadi 475 kali dengan korban jiwa 125 orang, pada 2013 secara kumulatif menjadi 1392 kali atau setara 293 persen. Bencana tersebut telah melanda 6727 desa/keluarah yang tersebar 2787 kecamatan, 419 kabupaten/kota dan 34 propinsi dan menimbulkan korban jiwa sebesar 565 orang.

Salah satu penyebab permasalahan lingkungan saat ini adalah ketimpangan penguasaan sumberdaya alam, dimana proporsi terbesar diberikan kepada korporasi.   Sebagai contoh, data yang dihimpun oleh WALHI dari berbagai sumber menunjukan komposisi penguasaan sumberdaya alam korporasi di Kalimantan Tengah sekitar … juta km persegi atau sekitar ….% dari luasan Propinsi Kalimantan Tengah.  Sementara itu di Propinsi Jambi sekitar  …% kawasan hutan produksinya dikuasai oleh satu korporasi melalui IUPHHK-HTI.

Bersamaan dengan ketimpangan penguasaan sumberdaya alam muncul degradasi lingkungan yang berakibat pada semakin tingginya tingkat kerentanan bencana ekologis, misalnya di Propinsi Lampung sepanjang tahun 2013 telah terjadi 38 kali bencana yang meliputi 104 Desa dan apabila dilihat dari wilayah bencana, terlihat wilayah-wilayah yang di dominasi oleh penguasaan lahan skala luas menempati urutan teratas seperti Lampung Selatan, Mesuji dan dampak pada wilayah hilir seperti Kota Bandar Lampung.  Demikian juga di Jambi terjadi 35 kali bencana ekologis dengan wilayah bencana meliputi 216 Desa dengan wilayah yang kerap diterpa bencana adalah wilayah-wilayah yang penguasaan lahan skala besar dimiliki oleh perkebunana besar kelapa sawit, pertambangan dan HTI seperti Tebo, Muara Jambi, Sorolangun dan wilayah hilir seperti Kota Jambi.  Di Kalimantan wilayah bencana berada di daerah-daerah tinggi tingkat eksploitasi sumberdaya alamnya seperti Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur yang menerpa kurang lebih 400 desa.

Hal lain yang muncul akibat ketimpangan tersebut adalah konflik agraria, dimana tercatat 369 konflik agraria sepanjang 2013 atau naik tiga kali lipat dibanding tahun 2009[6].
Krisis lingkungan sudah merambah pada krisis kedaulatan dan keadilan, dalam hal ini, terhadap rakyat kecil telah terjadi proses penghilangan identitas hidup (etnocide), demikian pula telah terjadi defisit narasi ketimpangan distribusi manfaat dari sumber-sumber penghidupan bagi rakyat[7].
pertama karena tidak adannya visi atau cetak biru yang menjadi landasan tentang pengelolaan lingkungan dan keberlanjutan ekologi, yang mengakibatkan negara tidak mampu mau menjadikan issue lingkungan hidup sebagai agenda politik nasional apalagi menjadikannya sebagai portofolio politik kedalam struktur dan sistim pemerintahan yang seharusnnya sudah dimuali pada tahun 1970 - 1980an,
kedua penggunaan dan pengelolaan asset-aset sumberdaya alam yang tidak terkendali oleh operesi model pembangunan yang berorientasi expor dan tidak untuk membangun fondasi dasar pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan nasional.
Ketiga Krisis Ecologi dan kerusakan lingkungan yang mengarah pada ecocide di Indonesia.

MP3EI sendiri bisa dikatakan sebagai cikal bakal indikator persoalan dan kerusakan lingkungan hidup Indonesia dimasa mendatang.

Penutup
Tentu degradasi lingkungan memiliki sebuah efek yang menyengsarakan kehidupan umat manusia. Tanpa lingkungan yang layak hidup, hak-hak kemanusiaan lainnya tak dapat dicapai atau tak ada artinya.

Pada dekade ini, dunia telah menyaksikan sebuah perkembangan kerusakan yang maha dahsyat baik dalam hal kualitas maupun cakupannya. Peningkatan lavel teknologi, populasi dan aktifitas industri semakin meyakinkan bahwa tanpa tindakan segera, situasi ini akan tak terhindarkan lagi memburuk secara drastis.  Upaya untuk memulihkan lingkungan hidup bukan merupakan upaya parsial dan hanya berbatas pada satu masa program kerja pemerintahan, melainkan satu upaya uang holistic dan melingkupi segenap sendi kehidupan.  Peran-peran pemerintah selaku pelaksana mandat Undang-Undang Dasar Negara harus diletakkan pada kepentingan rakyat dan kepentingan generasi mendatang.  Untuk itu : 
  1. Hak Atas Lingkungan penting dimasukan sebagai prisip di dalam semua  kebijakan dan perundang-undang ditingkat internasional, regional dan nasional yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam, sebagaimana pula dapat terimplementasikan sampai pada pelaksanaan.
  2. Pemerintah harus membuat visi dalam bentuk cetak biru lingkungan hidup sebagai pijakan praksis dalam pengimplemantasian pembangunan lingkungan hidup yang dapat diakses oleh rakyat.
  3. Mekanisme yang tersedia dalam hukum nasional untuk sementara harus dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam rangka penegakan hak atas lingkungan di negara ini.  Pada saat yang bersamaan perlu terus-menerus diupayakan terobosan hukum yang menjamin terciptannya keadilan ekologi dan keberlanjutan kehidupan.
  4. Diperlukan pengadilan lingkungan hidup yang independen dan berkeadilan, yang sifatnya ad hoc bagi para penjahat lingkungan yang selama ini telah menyebabkan berbagai bencana, kemiskinan struktural serta kejahatan lingkungan di Indonesia.
  5. Gagasan dan gerakan yang mendesakan agar para penjahat lingkungan dikategorikan sebagai pelaku kejahatan HAM, baik di tingkat nasional, regional maupun internasional perlu diperkuat.

Dengan demikian maka upaya untuk Pemulihan Indonesia terintegrasi dalam upaya pembangunan Nasional.




[1] Deddy Ratih, Anggota Individu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.
[2] Hak Atas Lingkungan sebagai Hak Asasi Manusia oleh M. Ridha Saleh, WALHI 2004
[3] RKP 2014 KemenPU, Mei 2013
[4] Data perhitungan RAD GRK Propinsi Lampung dengan base line tahun 2005 – 2013, BLHD Lampung 2013,
[5] Pidato sambutan Kepala Bappeda Propinsi Lampung pada Focus Group Discussion MP3EI Koridor Sumatera, 20 Januari 2014
[6] Laporan Akhir Tahun KPA, 2013.
[7] M. Ridha Saleh, Makalah tentang Ecocide