Ibu Hj. Mimi Pembela hak masyarakat yang di khianati negara
Baru-baru ini, Pengadilan Negeri Unaaha, Sulawesi Tenggara mengabulkan gugatan PT CAL (Celebes Agro Lestari) yang menghukum ibu Hj. Mimi (Nurjaniah Gazali) utk membayar ganti rugi sebesar Rp. 500 juta dari tuntutan perusahaan sawit tersebut yang sejumlah Rp. 5 milyar, karena penolakan kelompok masyarakat adat Sambawa yg dipimpinnya atas perkebunan sawit yg menggusur tanah warga dianggap "menghalangi dan merugikan perusahaan sawit". Kasus ini jauh lbh besar dr kasus Prita dan Ibu Hj. Mimi melakukan pembelaan terhadap masyarakat, namun sangat minim dukungan publik pd perjuangan Ibu Hj. Mimi. Perjuangan Ibu Hj. Mimi untuk membela hak-hak masyarakat dianggap sebagai tindakan kriminal. Negara melalui aparatusnya sudah melecehkan hak masyarakat dan dengan sengaja mendorong masyarakat kedalam jurang kemiskinan dan kesengsaraan. Mari dukung Ibu Hj. Mimi.
Hj. Mimi, yang memiliki nama lengkap Nurjaniah Gazali, berjuang melawan perkebunan kelapa sawit di Konawe Sulawesi Tenggara sejak tahun 2008.Ini diawali dengan keprihatinan Hj. Mimi dengan lokasi Konawe yang semua ditanami sawit. Tanah yang diserobot oleh perusahaan kelapa sawit PT. Sultra Prima Lestari (SAL) tersebut adalah tanah adat masyarakat Konawe. “Tanah ini warisan dari bapak saya, yang merupakan pejuang di sini, di lahan ini juga ada perkuburan dan monumen bersejarah” papar Hj. Mimi yang juga merupakan pemimpin masyarakat adat Sambandete Walandawe (Sambawa).
Walau masyarakat sudah menjelaskan kepada pemerintah bahwa tanah tersebut adalah tanah adat, namun tidak ada respon positif dari pemerintah. Karena sudah berkali-kali Hj.Mimi melaporkan masalah penyerobotan tanah adat tersebut, dan tidak pernah digubris, membuat Hj. Mimi dan masyarakat mencabuti kelapa sawit di lahan tersebut pada bulan Maret 2008.
Faktor lain yang membuat warga marah adalah karena pihak perusahaan yang selalu ingkar janji. Padahal sudah ada surat perjanjian yang ditanda tangani perusahaan dan masyarakat yang isinya bahwa perusahaan akan menghentikan aktivitas perkebunan kelapa sawit. Di bulan Juni 2008, masyarakat kembali tersulut emosi karena perusahan kambali ingkar janji, masyarakat kembali mencabuti sawit. Bulan Februari 2010, Mimi dan masyarakat melakukan pembakaran terhadap tanamanan sawit karena janji yang diingkari lagi oleh perusahaan.
Pembakaran ini berujung pada gugatan perdata kepada Hj. Mimi, yang dituntut ganti rugi Rp. 5 milyar, dengan mobil dan rumahnya sebagai jaminan yang dimintakan untuk disita oleh pengadilan.
Hj. Mimi juga pernah dilaporkan ke polisi dengan tuduhan merusak tanaman sawit, namun Hj. Mimi tak mau tinggal diam, beliau balik melaporkan perusahan dengan tuduhan penyerobotan tanah adat.
Perusahaan pernah menawarkan damai, pada Mimi. “Saya nggak mau damai, kita terusin aja ke pengadilan” katanya.
Aksi menolak sawit, ini dilakukan dalam berbagai cara yaitu; demonstrasi di DPRD, demonstrasi di Polres, dan demonstrasi di perusahaan, dengan estimasi massa 200 orang.
“Sampai dunia kiamat, tanah tak akan kami lepaskan, karena ini tanah leluhur” ucap Hj. Mimi bersemangat. Semangat yang berapi-api ini adalah karena perasaan memiliki yang sangat dalam terhadap tanah tersebut, dan Mimi tak rela tanah tersebut jatuh ke tangan perusahaan.
“Tanah ini adalah tanah adat, bukan tanah perusahan, tapi tanah untuk generasi kami” kata Mimi yang lahir di Konawe Utara, tanggal 9 Mei 1955 ini.
“Jangan pikir, karena saya perempuan maka saya tak berani,” ungkap ibu 4 anak dan 12 cucu ini, tentang perjuangannya.
(sumber : Buku Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan, terbitan WALHI, 2011 halaman 47-49)
Hj. Mimi, yang memiliki nama lengkap Nurjaniah Gazali, berjuang melawan perkebunan kelapa sawit di Konawe Sulawesi Tenggara sejak tahun 2008.Ini diawali dengan keprihatinan Hj. Mimi dengan lokasi Konawe yang semua ditanami sawit. Tanah yang diserobot oleh perusahaan kelapa sawit PT. Sultra Prima Lestari (SAL) tersebut adalah tanah adat masyarakat Konawe. “Tanah ini warisan dari bapak saya, yang merupakan pejuang di sini, di lahan ini juga ada perkuburan dan monumen bersejarah” papar Hj. Mimi yang juga merupakan pemimpin masyarakat adat Sambandete Walandawe (Sambawa).
Walau masyarakat sudah menjelaskan kepada pemerintah bahwa tanah tersebut adalah tanah adat, namun tidak ada respon positif dari pemerintah. Karena sudah berkali-kali Hj.Mimi melaporkan masalah penyerobotan tanah adat tersebut, dan tidak pernah digubris, membuat Hj. Mimi dan masyarakat mencabuti kelapa sawit di lahan tersebut pada bulan Maret 2008.
Faktor lain yang membuat warga marah adalah karena pihak perusahaan yang selalu ingkar janji. Padahal sudah ada surat perjanjian yang ditanda tangani perusahaan dan masyarakat yang isinya bahwa perusahaan akan menghentikan aktivitas perkebunan kelapa sawit. Di bulan Juni 2008, masyarakat kembali tersulut emosi karena perusahan kambali ingkar janji, masyarakat kembali mencabuti sawit. Bulan Februari 2010, Mimi dan masyarakat melakukan pembakaran terhadap tanamanan sawit karena janji yang diingkari lagi oleh perusahaan.
Pembakaran ini berujung pada gugatan perdata kepada Hj. Mimi, yang dituntut ganti rugi Rp. 5 milyar, dengan mobil dan rumahnya sebagai jaminan yang dimintakan untuk disita oleh pengadilan.
Hj. Mimi juga pernah dilaporkan ke polisi dengan tuduhan merusak tanaman sawit, namun Hj. Mimi tak mau tinggal diam, beliau balik melaporkan perusahan dengan tuduhan penyerobotan tanah adat.
Perusahaan pernah menawarkan damai, pada Mimi. “Saya nggak mau damai, kita terusin aja ke pengadilan” katanya.
Aksi menolak sawit, ini dilakukan dalam berbagai cara yaitu; demonstrasi di DPRD, demonstrasi di Polres, dan demonstrasi di perusahaan, dengan estimasi massa 200 orang.
“Sampai dunia kiamat, tanah tak akan kami lepaskan, karena ini tanah leluhur” ucap Hj. Mimi bersemangat. Semangat yang berapi-api ini adalah karena perasaan memiliki yang sangat dalam terhadap tanah tersebut, dan Mimi tak rela tanah tersebut jatuh ke tangan perusahaan.
“Tanah ini adalah tanah adat, bukan tanah perusahan, tapi tanah untuk generasi kami” kata Mimi yang lahir di Konawe Utara, tanggal 9 Mei 1955 ini.
“Jangan pikir, karena saya perempuan maka saya tak berani,” ungkap ibu 4 anak dan 12 cucu ini, tentang perjuangannya.
(sumber : Buku Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan, terbitan WALHI, 2011 halaman 47-49)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda