Jumat, 19 September 2008

Anarchy – Ideologi yang tersingkirkan (III)

Pada kali ini aku coba mensarikan beberapa literatur tentang perbedaan pandangan antara Anarchist dan Marxist, karena kadang emang susah dibedakan secara awam perbedaan ideologi kedua paham ini. Dalam kesempatan kali ini ada beberapa hal yang akan menjadi bahan perbandingan antara kedua ideologi tersebut, yaitu : Bagaimana Kaum Marxist memandang Periode Transisi, Bagaimana Anarchist dan Marxist memandang Partai Politik dan pandangan keduanya tentang Kekerasan dan Revolusi.


Perbedaan Anarchist dengan Marxist

Beberapa faktor perbedaan antar Anarchist dengan Marxist dapat dilihat dari hal-hal tersebut dibawah., dimana ini sudut pandang Anarchist disini diambil dari sudut pandang Bakunin sebagai salah satu tokoh besar Anarchy. Dan berhadapan dengan sudut pandang Karl Marx sebagai “Bapak ideologi Marxist.”

Berikut beberapa perbedaan pandangan-pandang kedua ideology tersebut :

1. Marxist percaya pada pembentukan “People State” atau “Negara Kelas Pekerja”, sedangkan Anarchist percaya pada penghapusan/penghilangan sebuah negara

2. Anarchist berpandangan bahwa dalam masyarakat, pengambilan keputusan harus melibatkan semua orang yg hidup dlm lingkup masyarakat tersebut; Marxist “mengandalkan” sistem perwakilan yang disebut dengan “Kediktatoran Proletariat”

3. Marx seorang “economic determinist”; sementara Bakunin menekankan faktor hubungan psikologis dalam sebuah Revolusi. Marxisme adalah perjalanan “ego dari sebuah intelektual” yg mencoba untuk mencocokan segala geraknya dalam “theory of Byzantine complexity” – Dialektika materialisme – dan sebagian besar ditujukan untuk membuat segalanya mungkin untuk para pemimpin kaum marxist mengendalikan, memegang kontrol atas gerakkan yg dilakukan.

4. Penganut paham anarkhi percaya bahwa sebuah organisasi revolusioner harus terbuka, egaliter dan sepenuhnya demokratis. Penganut paham marxist pada sisi lain mendukung sistem hirarkis, kepemimpinan berjenjang, yang secara nyata di jalankan oleh “vanguard Party” dan dekokrasi sentralistik.

5. Awal dari perselisihan pendapat antara faksi yang dipimpin Marx dan faksi yang dipimpin oleh Bakunin pada International Pertama adalah pandangan tentang “Authoritarianisme”; Marx dan Bakunin di keluarkan dari International Pertama karena Bakunin beroposisi atas Rezim Marx yg diktatorial, Rezim International yg tersentalisi.

6. Marxisme adalah “Authoritarian” sedangkan Anarkhisme adalah “Libertarian”


Hal-hal tersebutlah yang menjadi faktor pembeda antara Anarkhisme dengan marxisme. Yang patut dipahami adalah bahwa Anarkisme dan Marxisme adalah dua filsafat politik yang berbeda. Walau pada titik tertentu terdapat berbagai kemiripan antara metodologi dan ideologi yang dikembangkan, bahkan sejarah keduanya saling beririsan. Keduanya berbagi tujuan-tujuan jangka panjang yang serupa (komunisme tanpa negara), musuh politik yang sama (konservatif dan elemen-elemen sayap kanan), melawan target-target struktural yang sama (kapitalisme dan pemerintahan yang eksis saat ini). Banyak Marxis telah turut berpartisipasi dengan sepenuh hati dalam revolusi-revolusi anarkis, dan banyak anarkis yang juga berlaku demikian dalam revolusi-revolusi Marxis. Tetapi bagaimanapun juga, anarkisme dan Marxisme tetap menyimpan saling ketidaksetujuan yang kuat atas beberapa isu, termasuk di dalamnya peran alamiah negara, struktur kelas dalam masyarakat dan metoda materialisme historis. Dan selain bentuk kerjasama, terjadi juga konflik-konflik berdarah antara para anarkis dan Marxis, seperti yang terjadi dalam represi-represi yang dijalankan oleh para pendukung Uni Soviet melawan para anarkis.

Teori tentang negara menentukan secara langsung pertanyaan praksis tentang bagaimana transisi menuju masyarakat tanpa negara yang diidam-idamkan baik oleh para anarkis maupun Marxis tersebut mengambil bentuknya.

Kaum Marxis percaya bahwa sebuah transisi yang berhasil menuju komunisme, yang jelas berarti masyarakat tanpa negara, akan membutuhkan sebuah represi atas para kapitalis yang apabila dibiarkan tentu akan membangun kembali kekuatannya, dan akan dibutuhkan juga eksistensi negara dalam sebuah bentuk yang dikontrol oleh para pekerjanya. Kaum anarkis menentang "negara pekerja" yang diadvokasikan oleh para Marxis sebagai sesuatu yang tidak logis karena begitu sebuah kelompok mulai memerintah melalui aparatus negara, maka mereka akan berhenti menjadi pekerja (apabila sebelumnya mereka adalah pekerja) dan dengan demikian akan segera mereka bertransformasi menjadi penindas baru. Kaum anarkis mendukung argumen mereka dengan merujuk pada Uni Soviet yang berkarakter anti demokrasi serta berbagai negara "Marxis" lain, sementara para Marxis mendukung argumen mereka dengan merujuk pada kehancuran revolusi-revolusi yang dipimpin para anarkis sebagaimana dalam Revolusi Meksiko 1910 dan Perang Sipil Spanyol.

Kalau kita liat lebih jauh, maka akan didapat garis tegas perbedaan antara keduanya dimana, Kaum Anarkis berusaha untuk "menghancurkan" negara yang eksis saat ini, serta segera menggantikannya dengan konsil-konsil pekerja, sindikat-sindikat atau berbagai metoda organisasional yang desentralis dan non-hirarkis. Kaum Marxis secara kontras, justru berusaha "merebut kekuasaan", yang berarti secara gradual mengambil alih negara borjuis yang eksis saat ini, atau menghancurkan negara yang eksis saat ini melalui sebuah revolusi dan menggantinya dengan sebuah negara baru yang tersentralisir (Leninisme, Trotskyisme, Maoisme) atau melalui sebuah sistem konsil pekerja (Komunisme Konsilis, Marxisme Otonomis).


Partai Politik

Isu perebutan negara mengarah pada isu tentang keberadaan partai politik, yang juga memisahkan jalan antara Kaum Anarkis dan Marxis. Kebanyakan kaum Marxis melihat partai politik sebagai sesuatu yang berguna atau bahkan dibutuhkan untuk merebut kekuasaan negara, semenjak mereka kebanyakan melihat bahwa sebuah upaya yang terkoordinasi dan tersentralisirlah yang akan mampu mengalahkan kelas kapitalis dan negara, serta memapankan sebuah badan koordinasi yang mampu mempertahankan revolusi. Partai politik juga menjadi sentral perjuangan semenjak mayoritas kaum Marxis percaya bahwa kesadaran kelas harus disuntikkan ke dalam kelas pekerja, yang seringkali harus dilakukan oleh mereka yang berada di luar kelas tersebut. Tapi bagaimanapun juga, kaum Marxis saling berbeda pendapat tentang apakah sebuah partai revolusioner harus turut serta dalam sebuah pemilu borjuis atau tidak, peran apa yang harus dijalankan pasca revolusi, dan bagaimana ia harus diorganisir. Di sisi lain, para anarkis umumnya menolak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, menolak membentuk sebuah partai politik, semenjak mereka melihat struktur organisasinya yang hirarkis sebagai sebuah kedenderungan otoritarian dan menindas, walaupun toh kebanyakan kaum anarkis juga tak mampu menjawab tentang bagaimana sebuah kesadaran revolusioner dapat dibangkitkan tanpa keberadaan kekuatan kelompok-kelompok pelopor, yang bagi kaum Marxis terwujud melalui partai politik. Bagaimanapun juga perdebatan dan berbagai perbedaan saling berhadap-hadapan, banyak dari mereka, para Anarkis, mengorganisir secara politis berdasarkan pada sistem demokrasi langsung dan federalisme dalam upayanya untuk berpartisipasi secara lebih efektif di tengah perjuangan popular dan mendorong rakyat menuju revolusi sosial (dengan memberikan contoh).


Kekerasan dan Revolusi

Pertanyaan praksis lainnya yang berhubungan dekat dengan teori negara adalah kapan dan sebesar apa kekerasan dapat diterima dalam upayanya untuk meraih kemenangan dalam sebuah revolusi. Para anarkis berargumen bahwa seluruh bentuk negara adalah sesuatu yang tak dapat dilegitimasi lagi karena semuanya bergantung pada kekerasan yang sistematis, dan sementara sebagian dari para anarkis dapat membenarkan saat kekerasan berskala kecil atau pembunuhan terarah atas elit-elit dilakukan berdasarkan atas kebutuhan dalam beberapa kasus (misalnya kampanye "Propaganda by the Deeds"), kekerasan massal melawan rakyat biasa—sebagaimana yang dipraktekkan oleh Lenin dan Trotsky dalam menumpas pemberontakan Kronstadt dan Makhnovis, oleh Stalin dalam "Pembersihan Besar-Besaran" atau oleh Mao selama "Revolusi Kultural", tak akan pernah dapat diterima dan dibenarkan. Kebanyakan kaum Marxis berargumen bahwa kekerasan berskala besar dapat dibenarkan dan dengan demikian "perang keadilan" adalah sesuatu yang mungkin, setidaknya dalam lingkup terbatas dari pertahanan diri secara kolektif, misalnya dalam melawan sebuah kudeta atau invasi imperialis. Beberapa lainnya (khususnya para Stalinis) berargumen lebih jauh, bahwa tujuan dapat menghalalkan cara, sehingga dalam teorinya, sejumlah apapun kekerasan dan pertumpahan darah akan dapat dibenarkan dalam upayanya untuk menuju komunisme.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda