Rabu, 23 Juli 2008

Untuk Gadis Kecilku

Ketika Upaya menemukan Jati Diri telah menegasikan kepribadian dan sikap kesejatian diri itu sendiri, maka “menjerumuskan” diri dalam pola hidup yang berbeda kadang menjadi pilihan

Kesadaran bahwa seseorang akan menjadi berbeda atau berubah dalam kurun waktu tertentu karena interaksi kesehariannya dengan lingkungan sosialnya atau karena alasan lain misalnya perobahan cepat akibat tekanan kondisi subyektifnya sendiri, sebuah perubahan karena problem subyektif seseorang atau problem subyektif kolektif. Dan konon katanya ini juga dipengaruhi oleh perilaku dan pola-pola kehidupan sebagai bagian dari sebuah budaya.

Kadang lingkungan sosial kita bukan wadah yang ideal bagi kita untuk hidup, tapi “keterpaksaan” kita untuk bisa survival di tengah lingkungan tersebut telah menjadikan kita mampu berkompromi dengan kondisi tersebut. Dan mungkin gaya hidup hedonis yang “menjadi” budaya dikalangan anak-anak muda saat ini juga buah dari interaksi sosial mereka atau juga hasil dari kompromi mereka dengan keadaan

Konteks hubungan sosial satu manusia dengan manusia yang lain dalam interaksi kesehariannya sangat berpengaruh dalam membentuk pribadi seseorang termasuk di dalamnya budaya. Beberapa literature tentang budaya telah membahas bagaimana kebudayaan erat hubungannya dengan masyarakat, misal Melville J. Herskovits, antropolog asal Amerika dan Bronislaw Malinowski antropolog asal Polandia mengatakan; “bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri”, menurut Wikipedia istilah untuk pendapat mereka ini adalah Cultural Determinism. Herskovits sendiri memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang diturunkan dari satu generasi ke kegenerasi berikutnya, yang kemudian di sebut sebagai Superorganic. Pendapat lain yang dikemukakan oleh Andreas Eppink menyatakan “kebudayaan mengadung keseluruhan pengertian nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, relegius dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistic yang menjadi ciri khas suatu masyarakat”.

Menurut Edward B. Tylor seorang antropolog dari Inggris, “Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat”. Sedangkan Selo Soemarjan dan Soelaiman Soemardi berpendapat bahwa “Kebudayaan adalah hasil karya. Rasa dan cipta rasa masyarakat”.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Komponen atau unsur kebudayaan, sendiri menurut beberapa ahli seperti Melville J. Herskovits (ke)budaya(an) memiliki 4 unsur pokok, yaitu: alat-alat teknologi; sistem ekonomi; keluarga; kekuasaan politik. Bronislaw Malinowski juga mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi :

1. Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya; 2. Organisasi Ekonomi; 3. Alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (Keluarga adalah lembaga pendidikan utama); 4. Organisasi kekuatan (Politik)

Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia. Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama :

Kebudayaan Material dan Kebudayaan Non Material.

Sebelum terlalu berpanjang-panjang membahas budaya dan apa yang kemudian menyebabkan perubahan-perubahan dari “budaya” di suatu generasi, aku mencoba mengkaitkan tulisan ini dengan apa yang saat ini mulai banyak mencemaskan beberapa pihak, yaitu gaya hidup anak-anak muda terutama diperkotaan, gaya hidup hedonist. Bagaimanapun gaya hidup hedonis yang awalnya merupakan pilihan dalam menjalani kehidupan telah menjadi pilihan “Kebudayaan baru" di masa ini.

Pada awalnya, HEDONISME adalah paham sebuah aliran filsafat dari Yunani. Tujuan paham aliran ini, untuk menghindari kesengsaraan dan menikmati kebahagiaan sebanyak mungkin dalam kehidupan di dunia. Di masa itu hedonisme masih mempunyai arti positif. Dalam perkembangannya, penganut paham ini mencari kebahagiaan berefek panjang tanpa disertai penderitaan. Mereka menjalani berbagai praktik asketis, seperti puasa, hidup miskin, bahkan menjadi pertapa agar mendapat kebahagiaan sejati. Namun waktu kekaisaran Romawi menguasai seluruh Eropa dan Afrika, paham ini mengalami pergeseran ke arah negatif dalam semboyan baru hedonisme. Semboyan baru itu, carpe diem (raihlah kenikmatan sebanyak mungkin selagi kamu hidup), menjiwai tiap embusan napas aliran tersebut. Kebahagiaan dipahami sebagai kenikmatan belaka tanpa mempunyai arti mendalam.

Berdasarkan pemaparan tentang budaya di atas, kebudayaan memiliki komponen untuk membentuknya dan wujud sebagai cara untuk mengekspresikan dirinya. Menurut hematku sendiri, komponen pembentuk gaya hidup hedonis versi terbaru ini justru lahir dari lingkar keluarga terus interaksi dengan sesama mereka yang jenuh dengan model pendidikan baik di tingkat keluarga maupun pendidikan formal disekolah, yang mereka anggap kuno dan tidak bisa menjawab kegelisan mereka atas usaha pencarian jati diri dan juga system ekonomi dan kekuasaan (politik) saat ini yang mendorong anak-anak muda menetapkan identitas baru bagi kaum atau generasi mereka. Sehingga memacu semangat perlawanan terhadap budaya lama dengan menciptakan atau hidup dengan gaya berbeda dan dianggap mereka menarik.

Mungkin saja pemaparanku ini salah, tapi sebagai seseorang manusia merdeka tentu aku berhak dong mengungkapkan pendapatku…Kembali pada kenapa banyak anak muda menyukai gaya hidup hedonis, karena selain menawarkan sesuatu yang berbeda dan tingkat kejenuhan mereka yang tinggi, hedonis juga menawarkan kebebasan dalam kebersamaan. Sistem ekonomi kapitalistik yang mendorong munculnya sikap individualistik dalam keseharian, telah juga ikut berperan dalam mendorong pilihan gaya hidup hedonis.

Dalam Manifesto Hedonist International disebutkan, bahwa mereka menginginkan kebahagiaan bersama, anarchy, ide-ide epicurean, Multifaceted joy, Sensualitas, diversi, persahabatan, keadilan, toleransi, kebebasan seks, keberlanjutan, perdamaian, kebabasan akses terhadap informasi, seni, eksistensi cosmopolitan, dan dunia tanpa batas atau dunia tanpa diskriminasi serta apa saja yang sesungguhnya sangat bagus (menarik) tapi tidak menjadi kenyataan pada saat ini. Sepertinya sangat baik dan mengajarkan tentang kebersamaan dalam perdamaian dengan kebahagian sebagai landasan kehidupan. Gaya hidup ini wajar menjadi menarik dan digeluti oleh anak-anak muda saat ini, karena “wajah manisnya” dan kesenangan yang ditawarkan.

Hedonis sebagai aliran filsafat telah merobah dirinya dengan wajah baru yang mengakomodir pola hidup konsumtif, gaya hidup bebas tanpa norma yang mengikat ketat, dan kerinduan akan kebersamaan di tengah himpitan sikap individualistik saat ini.

Menurutku sendiri seharusnya Filsafat bisa melatih kita untuk berpikir lebih kritis, sistematis, dan terarah. Dengan filsafat, kita menjadi terbiasa mengolah segala sesuatunya secara matang dan tidak menerima hal-hal baru secara mentah. Akhirnya, kita akan selalu berpegang pada sesuatu yang dirasa pas dan baik secara subjektif dan objektif. Filsafat pada hakikatnya merupakan ilmu yang terus berupaya mencari kebenaran yang betul-betul autentik dan tidak bisa disangkal. Menurut Thomas Aquinas, fides quaerrens intelectum (iman yang mencari pengertian). Di sini, filsafat membantu kita untuk lebih menghayati iman secara mendalam. Dalam seni, filsafat membantu kita untuk lebih mengerti tentang makna dari keindahan melalui cabang ilmu ini yang mempelajari keindahan, yaitu estetika. Begitu pula dengan bahasa, kita akan lebih mengerti tentang makna suatu bahasa, bukan hanya dari pengertian harfiahnya saja, melainkan dari makna di balik bahasa itu sendiri sesuai dengan kondisi masyarakat tempat bahasa itu lahir lewat filsafat bahasa yang dinamakan filologi. Filsafat juga berguna sebagai ilmu yang dapat membantu untuk memahami moralitas dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat melalui filsafat moral, yaitu estetika.

Aku sih ga akan menawarkan apa-apa dari tulisanku ini, ga juga menawarkan gimana cara mengatasinya…tulisan ini hanya sebagai pandanganku aja, tentang gaya hidup hedonis yang sekarang banyak menjadi pilihan bagi anak-anak muda saat ini. Gitu aja sih…

Dengan merujuk berbagai literature tentang budaya, tentang filsafat dan tentunya aku berterimakasih pada google dan wikipedia yang bisa menjadi sumber literature, maka jadilah tulisan ini, untuk memperingatkan diri sendiri aja, satu hal yang aku sadari bahwa system capitalistic global saat ini juga mempengaruhi gaya hidup dan menjadikannya sebagai budaya baru…

Materialisme, Dialektika dan Logika sebagai sebuah panduan pemahaman filsafat yang menurutku sangat lengkap bisa menjadi early warning terutama bagiku, dalam menyikapi kenyataan hidup dan aku harap ini juga bisa menjadi pegangangan bagi yang lain. So my little girl..there’s a wild world..out there.. watch your step and becarefull.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda