Jumat, 06 Juni 2008

DERITA DI TANAH KAUM PEJUANG

Keping derita itu masih terbuka lebar di kerut-kerut nasib anak nagri

Perih torehan pertikaian menggantung di sela angan tentang damai……


Lalu jiwa-jiwa ditekan untuk pergi tinggalkan prahara

Kesedihan larut di jalan-jalan kota……

Tergolek di antara puing-puing………..

Basah oleh darah dan air mata.

Kenapa mesti mengutuk, kalau kutuk itu sendiri masih melekat erat berbalut dendam

Kenapa mesti menangis kalau tangis itu sudah lama dideraikan.

Ini murka bumi, karna kutuk itu kita yg buat

Ini tangis bumi, karna kepedihan itu kita yg torehkan

Lewat perang, lewat dendam, lewat penistaan alam

Kemana angkara dulu yg kita cipta

Haruskah sisa hidup ini kita gunakan untuk saling tuding dan merajuk

Getir yg kau kecap bukan getirmu sendiri.

Duka yg kau pagut bukan dukamu sendiri

Kalau kiranya tuan sudi……

Bolehkah kita berbagi

Kalau kiranya tuan sudi

Maukah kita berbakti

Demi mereka yg tergolek di jalan-jalan kota,

demi mereka yang tertindas di desa-desa

Demi jiwa-jiwa yg tertekan

Demi masa depan.

Di sini, dimana para perjuang berdiri

Di bumi kaum satria, derita itu masih menggantung

=DeR@=

(DERITA RAKYAT)

Label:

Malam di bawah bulan (1)

Medio tahun 2005, disebuah desa bernama Bakambit.

Aku bukan orang yang bisa bercerita dengan baik melalui tulisan, tapi kali ini aku mencoba menceritakan kisah yg sudah cukup lama.
Saat itu aku berada disebuah desa di Kecamatan Pulau Laut Timur Kabupaten Kotabaru, nama desanya Bakambit dan aku dalam beberapa hari menginap dirumah salah satu penduduknya, Bapak Rahadi. Bapak Rahadi ini seorang ayah dengan 3 orang anak, yang tertua pada waktu itu duduk dikelas 5 SD dan yang kedua baru duduk di kelas 1 SD sedangkan yang bungsu masih belum sekolah.

Di desa Bakambit hanya ada 1 Sekolah Dasar Negeri dengan dua orang guru yang mengajar dari kelas 1 sampai kelas 6, 1 orang guru utk mengajar kelas 1 sampai kelas 3, 1 orang lainnya mengajar di kelas 4 sampai dengan kelas 6. Desa Bakambit sendiri sebenarnya tidak terlalu jauh dari ibukota kecamatan, hanya sekitar 6 kilometer saja.
Bisa dibayangkan bagaimana pendidikan di sana yang hanya dilayani oleh 2 orang guru. Sehingga untuk kelas sendiri kelas 1-3 di gabung dalam 1 kelas begitu juga dengan kelas 4-6 di gabung dalam 1 kelas. ini berakibat pada kualitas pendidikan yang menjadi rendah. Sementara guru disekolah itu tidak bisa berharap banyak pada orang tua murid untuk memberikan pendidikan seperti membaca dan menulis dirumah karena tingkat pendidikan para orang tua murid itupun rendah, rata-rata tidak tamat SD.

Anak kedua Pak Rahadi petang itu sedang belajar dengan diterangi lampu minyak tanah yang dibuat dari botol kecil bekas minuman suplemen yang diberi sumbu dan cahayanya tidak terlalu terang itu membantu dia menerangi buku pelajaran bekas kakaknya. Dengan terbata-bata mencoba melapalkan tulisan yang ada di buku belajar membaca dan menulis untuk pelajar kelas 1. Untungnya saat itu bulan sedang purnama penuh, menyeruak diantara sela sela cendela yang memang sengaja dibuka. Semangat anak kecil itu untuk bisa membaca cukup tinggi, walau dia belum bisa melapalkan tulisan dibukunya dengan baik, tapi sangat jelas terlihat dari upayanya melapalkan tulisan.

Aku kemudian berjalan menuju beranda dan dari situ aku masih bisa mendengarkan suara anak kecil itu meng-eja tulisan dari buku pelajaran membacanya. Bulan semakin memancarkan sinar purnamanya dan beberapa saat kemudian suara anak yang sedang belajar membaca itu berhenti, rupanya dia sudah hendak tidur. Terbayang di benakku bagaimana anak-anak di desa Bakambit ini kedepan, apabila pelayanan pendidikan yang mereka peroleh tidak mengalami peningkatan, akan jadi apa mereka apabila hak mereka sebagai generasi penerus untuk mendapatkan pelayanan dari negara yang seharusnya bertanggung jawab untuk mencerdaskan mereka terabaikan. Pembangunan memang tidak memihak kaum miskin dipedesaan.

Label: