Menuju Paris 2015
Oleh
: Deddy Ratih[1]
Pendahuluan
Dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia pada Amandemen ke-2 UUD
1945, Pasal 28H ayat (1) menyebutkan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir dun batin, bertempal tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat serta herhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Dalam pasal 28
H ayat 1 ini, dalam tafsir-nya, hak hidup layak dan bersih tidak
hanya merujuk pada fisik lingkungan hidup, lebih dari itu, hak hidup layak dan
bersih merupakan esensi dan eksistensi manusia untuk di jaminan agar
terpenuhinya hak hidup manusia[2]
Esensi penting lingkungan
hidup sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dibicarakan secara parsial.
Lingkungan Hidup harus dipandang secara holistik dan mengandung sistem yang teratur serta
meletakkan semua unsur di dalamnya secara setara.
Dalam bahasan lain
lingkungan hidup di tafsirkan secara pragmatis dan komoditis. Pikiran-pikiran
dan dominasi positivistik menjadi racun yang selalu mengkuantitaskan skala
lingkungan hidup. Demikian pula lingkungan hidup selalu hanya dilihat dan
dipandang sebagai dampak dari praktek-praktek sebelumnya. Padahal, kalau
dilihat dalam konteks yang sistemik lingkungan hidup sebagai sebuah system
tentu tunduk pada sebuah sistem hukum alam. Dengan demikian suatu system
tersebut dapat berlangsung dengan seimbang jika kualitas komponen di dalamnya
tetap berjalan stabil.
Sebagai sebuah sistem
kehidupan, maka lingkungan hidup merupakan sebuah kehidupan yang terdiri dari
kehidupan masa lalu, kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Itulah
esensi dari sumber-sumber kehidupan.
Perubahan Iklim adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari esensi lingkungan hidup, sehingga makna dari
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harusnya merujuk pada pertanggung jawaban
Negara terhadap Hak atas lingkungan hidup sebagaimana mandate UUD 1945 pasal 28
H tersebut diatas.
Dalam UU PPLH Nomor 32 tahun 2009, setidaknya ada di
pasal 57 ayat (4) Pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c meliputi : a. upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; Pasal 63
ayat (1) huruf f ; ayat (2) huruf e; ayat (3) huruf e tentang inventarisasi GRK. Tetapi tidak menjadi hal yang diutamakan
dalam kebijakan-kebijakan lingkungan di tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Baru tahun 2011 muncul satu regulasi yang
dikeluarkan oleh Presiden melalui Perpres nomor 61 tentang RAN GRK dan Perpres
nomor 71 tentang inventarisasi RAN GRK yang kemudian diturunkan dalam Rencana
Aksi Daerah penurunan emisi Gas Rumah Kaca.[3]
Konfrensi
Para Pihak Dalam isu perubahan iklim
Peran Indonesia dalam pertemuan-pertemuan global
terkait perubahan iklim nampak dari beberapa regulasi yang dibuat oleh
Pemerintah Indonesia, sebut saja dengan ratifikasi yang dilakukan terhadap
UNFCCC melalui Undang-undang nomor 6 tahun 1994.
Indonesia juga menjadi bagian dari uji coba
implementasi mekanisme fleksible (flexible mecanism) yang menggabungkan dua
inisiatif yaitu Joint Implementation (JI); dan Mekanisme Pembangunan Bersih
(CDM) yang memungkinkan negara-negara industri untuk mendanai kegiatan
pengurangan emisi di negara berkembang sebagai alternatif untuk pengurangan
emisi domestik. Hal tersebut merupakan
hasil dari COP ke 6 tahun 2001 di Bonn, Jerman.
Namun sayangnya tidak ada kajian yang komprehensip dalam mengevaluasi
mekanisme tersebut.
Semenjak COP ke 11 di Montreal Canada, dimana isu
Reduksi Emisi diejawantahkan melalui RED, Indonesia sebagai negara “pemilik”
hutan mulai dilihat sebagai salah satu negara yang bisa dijadikan proyek percontohan.
Selanjutnya merujuk pada Bali Road Map, dimana
Konferensi Para Pihak ditahun 2007 di
Bali memutuskan untuk meluncurkan proses yang komprehensif untuk memungkinkan
pelaksanaan Konvensi melalui aksi kerjasama jangka panjang, sekarang, hingga
dan setelah 2012, dengan mengatasi: (yang disebut pilar atau blok bangunan)
Sebuah visi bersama untuk aksi kerjasama jangka
panjang, termasuk tujuan global jangka panjang untuk pengurangan emisi.
- Aksi Peningkatan
nasional / internasional mitigasi perubahan iklim.
- Peningkatan
tindakan adaptasi.
- Peningkatan aksi
pada pengembangan dan transfer teknologi untuk mendukung tindakan mitigasi dan adaptasi.
- Peningkatan aksi pada penyediaan sumber daya keuangan
dan investasi untuk mendukung tindakan mitigasi dan adaptasi dan kerjasama
teknologi.
Pada COP Bali mulailah REDD+ diusulkan menjadi solusi
jangka panjang mitigasi perubahan iklim global, disusul dengan hadirnya
Conpenhagen Accord di tahun 2009 yang mendorong komitmen negara-negara maju
dalam pendanaan dan metodologi REDD+.
Namun sampai dengan COP di Cancun, Mexico 2010 komitmen negara-negara
maju belum 100% terwujud dan REDD+ kemudian diusulkan menjadi suatu komitmen
bertahap serta mulai dibahas apasaja elemen-elemen dalam REDD+ dan membangun
panduan sistem informasi safeguard (SIS).
Ditahun 2012, Doha Climate Gateway, Dokumen kolektif berisi:
1. Amandemen
Protokol Kyoto, menampilkan sebuah periode komitmen kedua berjalan dari tahun
2012 sampai 2020 dibatasi dalam ruang lingkup 15% dari emisi karbon dioksida
global karena kurangnya komitmen dari Jepang, Rusia, Belarus, Ukraina, Selandia
Baru (maupun Amerika Serikat dan Kanada, yang tidak pihak dalam Protokol pada
periode itu) dan karena fakta bahwa negara-negara berkembang seperti China
(emitor terbesar di dunia), India dan Brazil tidak dikenakan emisi pengurangan
di bawah Protokol Kyoto.
2. Bahasa pada Loss and damage (kerugian dan kerusakan),
diformalkan untuk pertama kalinya dalam dokumen konferensi. Konferensi ini membuat sedikit kemajuan dalam
pendiskusian Green Climate Fund.
Sampai dengan tahun 2013 yang lalu, dimana COP berlangsung
di Warsawa belum nampak secara pasti apa inisiatif yang benar-benar kuat dalam
mengurangi dampak perubahan iklim global.
Dalam Cop ke 19 di Warsawa yang kuat muncul dipermukaan adalah
pendiskusian 7 (tujuh) paket kepututusan terkait REDD+_, diantaranya pendanaan,
institusi, NFMS (National Forest Monitoring System), MRV (Measurement Reporting
and Verification), penilaian FREL (Forest Referance Emission Level; lihat
http://www.reddplus.go.id/kegiatan/frel), pelaporan SIS (safeguard Information
System) dan pemicu deforestasi.
Indonesia sebagai negara dengan kerentanan tinggi terhadap dampak
perubahan iklim tidak muncul dengan satu usulan kuat terkait upaya mitigasi dan
adaptasi yang komprehensip.
Dalam perundingan perubahan iklim sejak tahun 2001
sampai dengan tahun 2014, kita bisa melihat bahwa isu adaptasi belum menjadi
satu isu kuat dan masih menjadi “sampiran” dalam setiap perundingan, berbeda
dengan mitigasi perubahan iklim. Sangat
sedikit keputusan terkait adaptasi perubahan iklim yang dibuat secara global,
ini bisa kita telusuri dengan melihat hasil-hasil keputusan COP, seperti Program Kerja Adaptasi Nairobi (Nairobi Work
Programme) pada COP 12 di Nairobi, Kenya tahun 2006; Komite Adaptasi
(Adaptation Committee), Rencana Adaptasi Nasional (National Adaptations Plans),
Kerugian dan Kerusakan (Loss and Damage) yang diusulkan dan didiskusikan dalam
COP ke 16 di Cancun, Mexico dan kembali dibahas pada COP ke 17 di Durban,
Afrika Selatan. Namun sampai dengan COP
ke 20 di Lima, Peru belum ada keputusan yang signifikan.
Pemerintah Indonesia sejauh ini
nampak belum melakukan satu konsolidasi problem struktural dalam negerinya baik
itu terkait mitigasi maupun adaptasi kedalam usulan konkrit upaya penanganan
Nasional terhadap dampak perubahan iklim. Trend meningkatnya kasus bencana
akibat perubahan iklim dan kerusakan lingkungan hidup (Bencana Ekologis menurut
istilah WALHI) seharusnya menjadi satu kajian yang bisa dijadikan landasan bagi
upaya domestik Indonesia dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Salah satu dasar bagi upaya memperkuat
adaptasi perubahan iklim Nasional secara domestik adalah dengan mulai
mengalihkan penggunaan energi berbasis bahan bakar fosil ke energi terbarukan
non nuklir.
Merujuk pada COP ke 20 di Lima, Peru
dimana ada beberapa keputusan COP Warsawa yang dibahas di Lima antara lain : ruang lingkup, format, tenggat waktu dan proses
pengkajian ulang. Selain itu untuk ruang lingkup sendiri terdapat tiga komponen utama; adaptasi, mitigasi, dan
alat implementasi ( pembangunan kapastias, teknologi, dan pendanaan),
kesemuanya itu pun nantinya menjadi acuan pada
COP ke 21 tahun 2015 di Paris, Perancis.
Hasil keputusan COP ke 20 di Lima, Peru yang dikenal
dengan Lima Call for Climate Action. Dalam keputusan ini, semua Negara Pihak menyepakati bahwa upaya
pengendalian dan penanganan perubahan iklim masa depan akan dilaksanakan di
bawah Konvensi Perubahan Iklim dengan menggunakan keluaran legal yang akan
disepakati pada tahun 2015. Keluaran legal yang memiliki kekuatan mengikat bagi
seluruh Negara Pihak ini dapat berbentuk Protokol (sebagai pengganti dari
Protokol Kyoto), instrumen legal lain, maupun kesepakatan dengan kekuatan
implementasi legal. Dalam keputusan yang sama, seluruh Negara Pihak juga
menyepakati bahwa intended nationally determined contributions (INDCs)
yang merupakan bentuk partisipasi aktif masing-masing Negara Pihak, harus
disampaikan oleh seluruh Negara Pihak sebelum berlangsungnya COP ke 21 di Paris
pada akhir 2015. Selain Lima Call for Climate Action,
COP20/CMP10 di Lima juga menghasilkan berbagai keputusan penting terutama yang
terkait dengan mekanisme pendanaan di bawah Konvensi maupun di bawah Protokol
Kyoto hingga 2020, serta keputusan terkait dengan adaptasi hingga 2020. Keputusan
yang juga diadopsi pada COP20/CMP10 UNFCCC di Lima adalah Lima
Work Programme on Gender untuk
meningkatkan kesetaraan gender dan sensitivitas gender dalam
mengembangkan dan menerapkan kebijakan iklim.
Juga disepakati Lima Ministerial Declaration on Education and
Awareness-raising dengan
tujuan mengembangkan strategi pendidikan yang memasukkan isu perubahan iklim
dalam kurikulum, sementara juga meningkatkan kesadaran tentang perubahan iklim
dalam desain dan pelaksanaan pembangunan nasional dan strategi perubahan iklim.
Lalu
bagaimana Indonesia dalam menyambut hasil COP ke 20 tahun 2014 di Lima, Peru
ini.?
Sebagaimana
perundingan-perundingan para pihak sebelumnya, Indonesia masih belum bisa
merumuskan satu langkah kerja yang terkonsolidasi terutama merumuskan langkah
strategis penggabungan Mitigasi dan Adaptasi.
Pengkonsolidasian adaptasi dan mitigasi menuntut satu regulasi kuat yang
mengkonsolidasikan juga sektor-sektor terkait.
Kebijakan Level Nasional dan Daerah terkait Perubahan Iklim[4]
Tabel 1.
Kebijakan Negara dan Negosiasi perubahan iklim (COP)
2004
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
Ratifikasi Protokol Kyoto melalui UU No.
17/2004
|
RAN-PI (LH) yang diintegrasi melalui RPJMN
(2009-2014)
|
Perpres 46/2008 Pembentukan DNPI
|
Kep. 44/M/ PPN/09/2009 tentang Pembentukan
ICCTF
|
Draft STRANAS REDD+ oleh Bappenas
|
Perpres 71/2011 tentang Inventarisasi GRK
|
SK Satgas REDD tentang Stranas REDD
|
|
|
Permenhut 68/2008 tentang pengurangan emisi
karbon
|
PP no. 70/2009 tentang Pembentukan Tim Aksi
Energi
|
|
Perpres 61/2011 tentang RAN GRK
|
SK Menhut No. 20/Menhut/II/2012 tentang
pengurangan… karbon
|
|
|
|
Permenhut No. 30/Men-II/2009 tentang REDD
|
|
Permenkes 1018/PER/V/2011 tentang Strategi
adaptasi sektor kesehatan terhadap dampak Perubahan Iklim
|
|
|
|
|
Pernyataan SBY mengenai target penurunan emisi
(26% BAU, 41% bantuan LN)
|
|
Keppres 5/2011 tentang Satgas REDD
|
|
|
|
|
Permenhut 16/2009 tentang … karbon
|
|
|
|
|
|
|
SK Menhut no. 13/2009 tentang Pokja Perubahan
Iklim
|
|
|
|
Ratifikasi KP
|
Bali
|
Poznan
|
Coppenhagen
|
Cancun
|
Durban
|
Doha
|
Kebijakan terkait perubahan iklimpun relative kosong
dan kalaupun ada sangat parsial.
1. Kebijakan yang muncul sejak 2009 (pidato sby di
pittsburg) tidak memiliki dasar yang kuat, misal penetapan penurunan emisi
nasional (26%/41%). Yang kemudian dilanjutkan dengan Perpres tentang RAN GRK
(dilanjutkan dengan RAD GRK).
2. Rencana Pembangunan Nasional yg menghasilkan RPJM &
RPJP melalui Musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan) mulai tingkat desa
s/d nasional sama sekali tidak di integrasikan dalam RAN Baik Mitigasi maupun
Adaptasi. Dokumen RAN GRK sama sekali tidak menyinggung soal RPJM/RPJP.
3. Kebijakan perubahan iklim Indonesia (terutama mitigasi)
banyak dikeluarkan pasca ditandatanganinya Letter of Intens. Itu sebabnya kami
sebutkan terjadi cukup lama kekosongan kebijakan negara sejak 2004-2011
(kecuali permenhut ttg REDD yg dikeluarkan tahun 2007 karena adanya pinjaman
dari World Bank untuk membuat pokja REDD & kebijakan REDD di Kemenhut untuk
menyambut COP 13, Bali)
RAD GRK adalah dokumen yang menyediakan arahan bagi
pemerintah daerah untuk melaksanakan berbagai kegiatan penurunan emisi, baik
berupa kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi GRK
dalam kurun waktu tertentu. Dasar hukum utama bagi pemerintah level provinsi
untuk menyusun dokumen ini adalah Peraturan Presiden No. 61/2011 tentang RAN
GRK yang menjabarkan target penurunan emisi GRK nasional pada tahun 2020 dapat
dicapai dengan kontribusi dari pemerintah daerah. [5]
RAD GRK berisi upaya-upaya penurunan emisi GRK yang
bersifat multi sektor dengan mempertimbangkan karakteristik, potensi, dan
kewenangan daerah, serta terintregasi dengan rencana pembangunan daerah. Dalam
menyusun RAD GRK, harus sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah (RPJPD) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi/Kabupaten-Kota (RTRWP/K)
yang selanjutnya menjadi masukan dan dasar penyusunan dokumen-dokumen rencana
strategis daerah seperti: Renstra SKPD, RPJMD, RKPD dan APBD. Kegiatan-kegiatan
untuk penurunan emisi GRK yang dilakukan atau difasilitasi oleh pemerintah
menggunakan judul program dan kegiatan yang sesuai dengan RPJMN, RPJMD, dan
RKP/RKPD.
Proses penyusunan RAD GRK bersifat partisipatif dan
menggunakan referensi yang tersedia di tingkat nasional seperti Peraturan
Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang RAN GRK dan Pedoman Pelaksanaan Rencana Aksi
Penurunan Emisi GRK. RAD GRK dapat dikaji ulang sesuai dengan kebutuhan daerah
dan nasional serta perkembangan yang ada.
Landasan hukum penyusunan RAD
GRK antara lain adalah:
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change.
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah.
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2010 tentang Penguatan Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah.
6. Peraturan Presiden Nomor 5
Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014.
7. Peraturan Presiden Nomor 61
Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunanan Emisi Gas Rumah Kaca.
Substansi inti dari RAD GRK
terdiri dari 5 (lima) elemen, yaitu:
1. Sumber dan Potensi Penurunan
Emisi GRK
2. Baseline BAU emisi GRK
3. Usulan Rencana Aksi Penurunan
Emisi GRK (mitigasi), baik berupa kegiatan inti maupun kegiatan pendukung.
4. Usulan prioritas/skala
prioritas dari usulan-usulan aksi mitigasi terpilih.
5. Lembaga Pelaksanaan dan
pendanaan kegiatan yang sudah diidentifikasi, pengukuran dan pemantauan
program/ kegiatan RAD GRK di daerah.
Berdasarkan dokumen RAN GRK, disebutkan bahwa
kebijakan dan strategi umum yang diperlukan untuk melaksanakan RAD GRK di
daerah antara lain dengan pemetaan kelembagaan publik dan swasta yang akan
terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung, mengidentifikasi
sumber-sumber pendanaan baik yang berasal dari daerah (APBD), nasional(APBN),
swasta serta bantuan hibah untuk membiayai kegiatan upaya menyusun waktu/jadwal
pelaksanaan dari rencana aksi yang telah dibuat untuk keperluan pengukuran,
pemantauan, evaluasi dan pelaporan penurunan emisi GRK daerah.
Sosialisasi rencana implementasi RAD GRK perlu
dilakukan agar mendapat tanggapan yang sesuai dari masyarakat dan pelaku usaha
atau lembaga/organisasi yang mewakilinya.Namun pada kenyataannya Draft
Peraturan Gubernur sebagai landasan RAD GRK sudah disiapkan oleh Bappenas.
Dari fakta lapangan, ditemukan bahwa badan-badan yang
terlibat di tingkat daerah tidak mempunyai kesamaan pemahaman dan tidak
berkoordinasi dengan baik.
Arah Kebijakan Perubahan Iklim Indonesia dan Agenda Komitmen
Kedua Paris 2015
Dalam
menghadapi COP ke 21 di Paris Perancis 2015 nanti, Indonesia sudah harus
memiliki dasar-dasar yang kuat dalam upaya Mitigasi dan Adaptasi Perubahan
Iklimnya. Hal ini sangat penting segera
dilakukan mengingat agenda Paris merupakan salah satu pintu masuk dalam upaya
global membangun komitmen dan menyepakati aksi global dalam menanggulangi
dampak perubahan iklim.
Penting bagi
Indonesia untuk memiliki regulasi Nasional yang lebih kuat untuk menjadi dasar
bagi perundingan di Paris, karena merujuk pada keputusan Lima (Peru) dimana
dalam perundingan di Paris nanti akan diputuskan “bahwa upaya pengendalian dan penanganan
perubahan iklim masa depan akan dilaksanakan di bawah Konvensi Perubahan Iklim
dengan menggunakan keluaran legal”
dengan kata lain Indonesia harus mengikuti keputusan tersebut sementara saat
ini perumusan pengendalian dan penanganan perubahan iklim pada level Nasional
masih terkotak-kotak.
Penanganan
mitigasi yang terlalu ekslusif melalui suatu badan khusus (BP REDD) yang saat
ini berlangsung justru mengakibatkan semakin parsial/terkotak-kotaknya upaya
pengendalian dan penanganan perubahan iklim.
Konsentrasi terpusat pada upaya mitigasi berakibat pada kurangnya
perhatian pada sisi adaptasi, walaupun telah dimulai upaya penanganan adaptasi
melalui upaya BAPPENAS dengan Sistem Informasi data Kerentanan, namun inisiatif
berupa 15 proyek di Indonesia ini harusnya sudah masuk pada tahap lebih maju
dimana adaptasi perubahan iklim sudah seharusnya menjadi bagian dari Rencana
Pembangunan Jangka Pendek dan Menengah.
Berpatokan
pada penanganan bencana ekologis, dapat dilihat bahwa dampak perubahan iklim
tidak menjadi satu panduan pembangunan nasional sehingga upaya untuk memperluas
eksploitasi sumberdaya alam dalam pembangunan nasional melalui berbagai proyek
pembangunan tidak mampu dikontrol, ijin-ijin perluasan perkebunan kelapa sawit
dan hutan tanaman industri pada kawasan gambut dan hutan alam masih terus berlangsung
demikian juga dengan eksploitasi kawasan karst serta pembangunan infrastruktur
dan pembangkit energi berbahan baku batubara.
Pengendalian
dan penanganan perubahan iklim tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, salah satu
upaya yang harus segera dilakukan adalah mewujudkan aturan tentang batasan
kemampuan lingkungan hidup (daya tampung dan daya dukung lingkungan) melalui
Kajian Lingkungan Hidup Strategis.
Demikian juga model konsolidasi antar sektor serta antara nasional dan
daerah harus bisa dirumuskan dengan mengacu pada satu regulasi pokok terkait
upaya pengendalian dan penanganan perubahan iklim.
Rekomendasi khusus agar dapat mencapai hal tersebut,
Negara sebaiknya :
1.
Menyiapkan dasar
hukum yang kuat dan tak berbatas rezim, yakni setingkat Undang-Undang;
2. Membuka ruang
partisipasi dan informasi yang menjadi hak bagi rakyat sebagai pemegang hak,
juga membuka ruang partisipasi dan ruang untuk menjalankan mandat bagi
Pemerintah Daerah;
3. Menyusun kebijakan berdasarkan karakteristik
lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi daerah.
Kesiapan
Indonesia dalam menyambut Pertemuan Para Pihak di Paris, Perancis pada akhir
2015 nanti sangat tergantung pada kemampuan Indonesia mengkonsolidasikan
kepentingan perlindungan lingkungan hidup dan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya
alam serta penyelesaian problem struktural terkait hak tenurial masyarakat
lokal dan masyarakat adat.
Peran Masyarakat Sipil di Indonesia dalm mewujudkan
Keadilan Iklim
Lalu
bagaimana peran masyarakat sipil dalam mendorong terwujudnya keadilan iklim.? Berikut tabel yang coba dibuat penulis
terkait respon organisasi masyarkat sipil di Indonesia, mungkin gambaran dalam
tabulasi tersebut agak subyektif berdasarkan interaksi penulis dengan issue dan
kelompok masyarakat sipil yang terlibat dalam advokasi perubahan iklim di
Indonesia.
Tabel sikap
CSO, issue perubahan iklim dan korelasinya dengan COP (inisiatif internasional)
2004
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
Ratifikasi KP
|
Bali
|
Poznan
|
Coppenhagen
|
Cancun
|
Durban
|
Doha
|
Warsawa
|
Peru
|
|
|
|
|
Hasil/Keputusan
|
|
|
|
|
|
Bali
Road Map
|
Kesepakatan
utk membahas pembiayaan dana utk negara2 miskin
|
Coppenhagen
Accord
|
Cancun
Agreement
|
Durban
Platform
|
Doha
Climate gate away
|
The Warsaw
Framework for REDD+
|
Lima
Call for Climate Action
Lima Ministerial Declaration on Education
and Awareness-raising
|
|
|
|
|
Sikap CSO
|
|
|
|
|
Membentuk
CAN Indonesia
|
Sebelum
COP 13 CSO Indonesia membentuk CSF. Hal tsb terkait jg hsl Nairobi yg mulai
mendiskusikan peran WB serta model mitigasi berbasis lahan (RED).
Pasca
COP, CSF aktif mengkonsolidasikan diri dan mendesiminasi informasi kpd
anggota
|
inisiatif
HELP disuarakan dg issue pengikatnya kepentingan utara – selatan.
Issue
keterlibatan WB dalam perubahan iklim menurun
Catatan
: CSF hadir dg bbrp riset dan terbitan.
Issue REDD+ mulai menjadi wacana yg diperdebatkan.
|
-
CSO di Indonesia sebagian mulai terlibat dalam
issue REDD baik yg mempromosikan maupun yg mengkritisinya hingga menolak
skema REDD+.
-
Mendorong Moratorium perijinan di kawasan hutan
dan lahan gambut
|
Terbelah
antara pendukung REDD+ dan menolak skema REDD+. Permasalahan ini jg terkait dg hsl cancun
yg tdk mampu memberikan gambaran yg jelas terkait skema pendanaan dan jg
tanggung jawab negara utara. Issue penolakan
terhadap keterlibatan world bank dlm pendanaan iklim kembali menguat
|
Mendorong
adaptasi dan mulai mendiskusikan pendanaan iklim disebabkan disepakatinya
pembentukan Green Climate Fund.
Pembentukan
GCF di Durban memperlihatkan issue REDD+ lbh dominan sepanjang 2011 shg
penolakan keterlibatan WB saat COP di Cancun tdk berlanjut.
|
-
REDD+ masih mjd issue disamping issue pendanaan
iklim, bbrp CSO mulai spesifik terlibat dg GCF.
-
Issue green grabing diangkat oleh bbrpa CSO
terkait praktek model kerja project REDD+ di Indonesia
|
Issue
adaptasi kembali mencuat namun dominasi issue mitigasi melalui REDD+ masih
mjd issue yg kuat dimana secara khusus dibahas dan menghasilkan satu
keputusan utama
|
Sikap
CSO di Indonesia tidak merujuk pada hasil keputusan Lima (Peru). Dimana issue di Indonesia masih berkutat ttg REDD+ dan
kebijakan pendanaan sementara pasca Peru (Lima) seharusnya sudah mulai
membicarakan ttg second commitment pasca Kyoto
|
Dengan melihat tabulasi diatas, maka
bisa dikatakan bahwa agenda-agenda yang muncul
berkorelasi dengan issue dan inisiatif yang berkembang di tingkat donor.
Bersambung.......
[1] Anggota Individu WALHI, pemerhati masalah perubahan
iklim
[2] Hak Atas Lingkungan sebagai Hak Asasi Manusia oleh M.
Ridha Saleh, 2004
[3] Working Paper Tanggung Jawab Negara Dalam Merespon
Perubahan Iklim, Deddy Ratih, WALHI, 2012
[4] Working Paper Tanggung Jawab Negara Dalam Merespon
Perubahan Iklim, Deddy Ratih, WALHI, 2013
[5] Buku Pedoman Penyusunan RAD GRK
1 Komentar:
dalam institusi kita , yang terlihat lemah yaitu pengawasan. Dari hal kecil tsb, mampu mendompleng prestasi. Dari celah-celah tsb itupun mampu menjangkit di segala sektor, terutama yang terasa efeknya adalah pertumbuhan ekonomi.
Dari hal kecil tsb pula mampu membuat keadaan semakin kacau, contohnya : maraknya kriminalitas, kekerasan, pencurian dsb.
Dari sisi pengawasan, disini peran kita sebagai rakyat sangat dibutuhkan, karena agar setiap bentuk kebijakan dapat berjalan sesuai yang diinginkan.
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda