Hak Rakyat Atas Lingkungan Hidup Dalam
Kacamata Pembangunan Inprastruktur Nasional
Pendahuluan
Dalam Konstitusi Negara Republik
Indonesia pada Amandemen ke-2 UUD 1945, Pasal 28H ayat (1) menyebutkan: “Setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dun batin, bertempal tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta herhak memperoleh
pelayanan kesehatan”. Dalam pasal 28 H ayat 1 ini, dalam tafsir-nya, hak
hidup layak dan bersih tidak hanya merujuk pada fisik lingkungan
hidup, lebih dari itu, hak hidup layak dan bersih merupakan esensi dan
eksistensi manusia untuk di jaminan agar terpenuhinya hak hidup manusia[2]
Lingkungan
hidup adalah ruang yang ditempati oleh manusia bersama makhluk hidup lainnya.
Masing-masing tidak berdiri sendiri dalam proses kehidupan, saling berinteraksi
dan membutuhkan. Kehidupan yang ditandai dengan interaksi dan saling bergantung
secara teratur tersebut merupakan tatanan ekosistem yang di dalamnya mengandung
esensi penting lingkungan hidup sebagai satu kesatuan yang tidak dapat
dibicarakan secara parsial. Lingkungan Hidup harus dipandang secara holistik
dan mengandung sistem yang teratur serta
meletakkan semua unsur di dalamnya secara setara.
Dalam
banyak definisi, lingkungan hidup masih ditafsirkan secara konvensional,
lingkungan hidup dianggap sebagai obyek penunjang kehidupan. Perspektif seperti
ini masih melihat dan menempatkan lingkungan hidup sebagai obyek eksploitasi
untuk menunjang kehidupan. Padahal esensi lingkungan hidup sendiri adalah sebuah
kehidupan dimana ruang lingkup dan waktunya melingkupi kehidupan-kehidupan yang
ada di dalamnya.
Dalam
bahasan lain lingkungan hidup di tafsirkan secara pragmatis dan komoditis.
Pikiran-pikiran dan dominasi positivistik menjadi racun yang selalu mengkuantitaskan
skala lingkungan hidup. Demikian pula lingkungan hidup selalu hanya dilihat dan
dipandang sebagai dampak dari praktek-praktek sebelumnya. Padahal, kalau
dilihat dalam konteks yang sistemik lingkungan hidup sebagai sebuah system
tentu tunduk pada sebuah sistem hukum alam. Dengan demikian suatu system
tersebut dapat berlangsung dengan seimbang jika kualitas komponen di dalamnya
tetap berjalan stabil.
Sebagai
sebuah sistem kehidupan, maka lingkungan hidup merupakan sebuah kehidupan yang
terdiri dari kehidupan masa lalu, kehidupan masa kini dan masa yang akan
datang. Itulah esensi dari sumber-sumber kehidupan.
Dengan
demikian maka adalah tanggung jawab Negara untuk memastikan terpenuhinya Hak
Hidup Layak dan Mendapatkan Lingkungan Hidup yang Bersih dan Sehat. Merujuk pada Konstitusi Negara Republik
Indonesia yaitu UUD 1945, maka seharusnya regulasi yang menjadi landasan
rencana pembangunan Nasional hendaknya memberikan jaminan tersebut.
Model Pembangunan yang Menuai Krisis
Dalam
kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir tercatat ribuan bencana ekologis akibat
model pembangunan yang tidak memperhatikan lingkungan, bencana banjir, tanah
longsor, kebakaran hutan dan lahan serta kekeringan merupakan rangkaian siklus
tahunan yang berakibat pada kerugian yang sangat besar baik dari sisi
Pemerintah dalam upaya memperbaiki infrastruktur yang rusak maupun dari sisi
masyarakat yang dirugikan secara materiil dan non materiil.
Salah
satu contoh dari bencana ekologis yang terjadi adalah banjir bandang yang
melanda Kota Manado di Sulawesi Utara, penyebab utama dari kejadian tersebut
adalah berkurangnya daya tampung dan daya dukung lingkungan serta pengembangan
model pembangunan yang tidak memperhatikan karakteristik ekologi setempat.
Dalam
versi yang lain, kejadian kebakaran hutan dan lahan gambut yang berakibat pada
bencana ekologi kabut asap di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Kejadian ini merupakan buah dari ketidak
mampuan pemerintah dalam merespon ketidakseimbangan lingkungan hidup sebagai
akibat dari perluasan perkebunan kelapa sawit skala besar dan kebun kayu skala
besar (HTI).
Diberbagai
tempat model pembangunan mengacu pada upaya mendorong percepatan pertumbuhan
ekonomi semata selain itu juga paradigma pembangunan di beberapa tempat
mengasumsikan bahwa infrastruktur transportasi adalah jalan raya (bertumpu pada
pengembangan angkutan darat), sementara itu disisi lain pembangunan tersebut
menghilangkan fungsi sungai sebagai salah satu infrakstruktur yang harus
diperhatikan. Fungsi sungai juga berubah
seiring bertambah padatnya pemukiman dan perkantoran serta kawasan industry.
Kawasan-kawasan
pertanian di Pulau Jawa, sebagian besar berubah menjadi kawasan industry dan
pemukiman, infrastruktur pengairan yang dulu pernah dibangun menjadi
terbengkalai dan tidak tepat fungsi.
Model
pembangunan saat ini mengacu pada visi dan misi presiden, dimana perencanaan
pembangunan diturunkan dalam Rencana
Kerja Pemerintah (RKP) per tahun.
Sehingga visi jangka panjang pembangunan tidak mampu tercermin dalam
rencana pembangunan tersebut. Visi
Indonesia 2014 yang digariskan dalam RPJMN 2010-2014 adalah “Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera,
Demokratis, dan Berkeadilan” yang dijabarkan ke dalam 5 (lima) agenda
pembangunan yaitu: (1) Pembangunan ekonomi dan Peningkatan Kesejahteraan
Rakyat; (2) Perbaikan Tata Kelola Pemerintahan; (3) Penegakan Pilar Demokrasi;
(4) Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi; dan (5) Pembangunan yang
Inklusif dan Berkeadilan. Sedangkan sasaran utama RPJMN 2010-2014 dibagi dalam
3 (tiga) kelompok yaitu: (1) Sasaran Pembangunan Ekonomi dan Kesejahteraan; (2)
Sasaran Perkuatan Demokrasi; dan (3) Sasaran Penegakan Hukum[3]
Mater Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi
Indonesia dan upaya Pemulihan Indonesia
Dalam
dokumen revisi MP3EI disebutkan, percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi
akan menempatkan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan
pendapatan per kapita yang berkisar antara USD 14.250 – USD 15.500 dengan nilai
total perekonomian (PDB) berkisar antara USD 4,0 – 4,5 triliun. Untuk mewujudkannya
diperlukan pertumbuhan ekonomi riil sebesar 6,4 – 7,5 persen pada periode 2011
– 2014, dan sekitar 8,0 – 9,0 persen pada periode 2015 – 2025. Pertumbuhan
ekonomi tersebut akan dibarengi oleh penurunan inflasi dari sebesar 6,5 persen
pada periode 2011 – 2014 menjadi 3,0 persen pada 2025.
Melihat
dari koridor-koridor ekonomi yang dibentuk nampak porsi keberpihakan terhadap
pembangunan ekonomi masyarakat sangat kurang dimana potensi-potensi yang
menjadi pilihan dalam tiap koridor kemudian diterjemahkan dalam pengembangan
ekonomi berbasis korporasi dan modal besar.
Hal ini bisa dilihat dari berbagai kegiatan ekonomi utama yang
disodorkan, misalnya pada koridor Sumatera sebagai Sentra Produksi dan Pengolahan
Hasil Bumi dan Lumbung Energi. Dengan 6
(enam) kegiatan ekonomi utama yaitu Kelapa Sawit, Karet, Batubara, Perkapalan,
Besi Baja, dan Kawasan Strategis Nasional Selat Sunda. Dari situ sudah nampak terlihat bahwa
penikmat dari model ekonomi yang dikembangkan adalah korporasi. Bila kita telaah lebih dalam lagi, misal pada
Propinsi Lampung, sebagai daerah agraris
lebih dari 50% penduduk Lampung hidup dari sektor pertanian dalam arti yang
luas, dimana sektor pertanian di Lampung menyumbang 36% PDRB Propinsi Lampung
dalam statistic Lampung tercatat dari daerah ini menyumbang 22,63% produksi
nasional untuk Kopi Robusta, 27,58% Lada Hitam, serta 26% produksi nanas. Namun sangat bertolak belakang dari semua
itu, dalam pertemuan Forum Gubernur se Sumatera dan Rakor MP3EI yang dihadiri
oleh para Gubernur se Sumatera dan Banten pada tanggal 20 Maret 2013 di
Propinsi Lampung, justru pertanian di arahkan pada sektor non unggulan
propinsi-propinsi berbasiskan pertanian rakyat. Dari Perhitungan RAD GRK Propinsi Lampung
diketahui bahwa emisi terbesar Propinsi tersebut berasal dari perubahan dari
hutan ke non hutan yaitu sebesar 70% lebih, dengan demikian problem lingkungan
sebagai akibat dari berkurangnya hutan di Propinsi tersebut sangat tinggi[4].
Dengan
demikian maka percepatan pembangunan ekonomi yang direncanakan justru
menempatkan posisi rakyat sebagai penonton kegiatan ekonomi tersebut terlebih
lagi Pemerintah Daerah Lampung menetapkan proyek investasi di Lampung yang
menjadi bagian dari pelaksanaan MP3EI meliputi[5]
:
- Kawasan Industri Maritim (KIM) yang merupakan proyek investasi PT Pertamina, dikembangkan oleh PT Repindo Jagad Raya dengan nilai investasi sebesar Rp. 4 triliun.
- Industri minyak kasar (minyak nabati) di kabupaten Tulang Bawang oleh PT Sumber Indah Perkasa dengan nilai investasi Rp. 1,05 triliun.
- Kawasan Strategis Infrastruktur Selat Sunda
- Pembangunan PLTP (pembangkit listrik tenaga panas bumi) di Ulu Belu, Tanggamus, Suoh dan rajabasa.
Dari
pemaparan tentang MP3EI diatas nampak bahwa proses akumulasi kekayaan disatu
sisi dan penghisapan serta pemiskinan di sisi lainnya, bukan terjadi secara
alamiah tetapi berdasarkan suatu rancangan kebijakan politik-ekonomi. Dengan begitu, jelas hak atas lingkungan
belum secara maksimal atau sensitif disepakati oleh banyak orang menjadi hak fundamental
yang juga harus diakui secara politik. Kondisi seperti inilah yang bisa disebut
sebagai suatu “ketidakpedulian umat
manusia” di dunia atas lingkungan. Padahal, sudah banyak potret peristiwa
ataupun perilaku yang menyimpang, dalam arti melanggar HAM dipicu oleh
persoalan-persoalan seputar pengelolaan lingkungan yang tiada lain disebabkan
kuatnya penetrasi atas paradigma atau paham pembangunan negara-negara kapitalis
bersama konsep globalisasinya atau liberalisasi pasarnya.
Disisi lain
sebagaimana disebutkan di atas, bencana ekologis sebagai akibat dari model
pembangunan yang ada cenderung meningkat.
WALHI mencatat, bencana ekologis pada tahun 2013 mengalami lonjakan yang
sangat tajam. Jika pada tahun 2012
banjir dan longsor hanya terjadi 475 kali dengan korban jiwa 125 orang, pada
2013 secara kumulatif menjadi 1392 kali atau setara 293 persen. Bencana
tersebut telah melanda 6727 desa/keluarah yang tersebar 2787 kecamatan, 419
kabupaten/kota dan 34 propinsi dan menimbulkan korban jiwa sebesar 565 orang.
Salah satu
penyebab permasalahan lingkungan saat ini adalah ketimpangan penguasaan
sumberdaya alam, dimana proporsi terbesar diberikan kepada korporasi. Sebagai contoh, data yang dihimpun oleh WALHI
dari berbagai sumber menunjukan komposisi penguasaan sumberdaya alam korporasi di
Kalimantan Tengah sekitar … juta km persegi atau sekitar ….% dari luasan
Propinsi Kalimantan Tengah. Sementara
itu di Propinsi Jambi sekitar …% kawasan
hutan produksinya dikuasai oleh satu korporasi melalui IUPHHK-HTI.
Bersamaan
dengan ketimpangan penguasaan sumberdaya alam muncul degradasi lingkungan yang
berakibat pada semakin tingginya tingkat kerentanan bencana ekologis, misalnya
di Propinsi Lampung sepanjang tahun 2013 telah terjadi 38 kali bencana yang
meliputi 104 Desa dan apabila dilihat dari wilayah bencana, terlihat
wilayah-wilayah yang di dominasi oleh penguasaan lahan skala luas menempati
urutan teratas seperti Lampung Selatan, Mesuji dan dampak pada wilayah hilir
seperti Kota Bandar Lampung. Demikian
juga di Jambi terjadi 35 kali bencana ekologis dengan wilayah bencana meliputi
216 Desa dengan wilayah yang kerap diterpa bencana adalah wilayah-wilayah yang
penguasaan lahan skala besar dimiliki oleh perkebunana besar kelapa sawit,
pertambangan dan HTI seperti Tebo, Muara Jambi, Sorolangun dan wilayah hilir
seperti Kota Jambi. Di Kalimantan
wilayah bencana berada di daerah-daerah tinggi tingkat eksploitasi sumberdaya
alamnya seperti Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur yang menerpa kurang
lebih 400 desa.
Hal lain
yang muncul akibat ketimpangan tersebut adalah konflik agraria, dimana tercatat
369 konflik agraria sepanjang 2013 atau naik tiga kali lipat dibanding tahun
2009[6].
Krisis lingkungan sudah merambah pada krisis
kedaulatan dan keadilan, dalam hal ini, terhadap rakyat kecil telah terjadi
proses penghilangan identitas hidup (etnocide), demikian pula telah
terjadi defisit narasi ketimpangan distribusi manfaat dari sumber-sumber
penghidupan bagi rakyat[7].
pertama karena tidak adannya visi atau cetak biru yang
menjadi landasan tentang pengelolaan lingkungan dan keberlanjutan ekologi, yang
mengakibatkan negara tidak mampu mau menjadikan issue lingkungan hidup sebagai
agenda politik nasional apalagi menjadikannya sebagai portofolio politik
kedalam struktur dan sistim pemerintahan yang seharusnnya sudah dimuali pada
tahun 1970 - 1980an,
kedua penggunaan dan pengelolaan asset-aset sumberdaya
alam yang tidak terkendali oleh operesi model pembangunan yang berorientasi
expor dan tidak untuk membangun fondasi dasar pemenuhan kebutuhan dan
kesejahteraan nasional.
Ketiga Krisis Ecologi dan kerusakan lingkungan yang
mengarah pada ecocide di Indonesia.
MP3EI
sendiri bisa dikatakan sebagai cikal bakal indikator persoalan dan kerusakan
lingkungan hidup Indonesia dimasa mendatang.
Penutup
Tentu
degradasi lingkungan memiliki sebuah efek yang menyengsarakan kehidupan umat
manusia. Tanpa lingkungan yang layak hidup, hak-hak kemanusiaan lainnya tak
dapat dicapai atau tak ada artinya.
Pada
dekade ini, dunia telah menyaksikan sebuah perkembangan kerusakan yang maha
dahsyat baik dalam hal kualitas maupun cakupannya. Peningkatan lavel teknologi,
populasi dan aktifitas industri semakin meyakinkan bahwa tanpa tindakan segera,
situasi ini akan tak terhindarkan lagi memburuk secara drastis. Upaya untuk memulihkan lingkungan hidup bukan
merupakan upaya parsial dan hanya berbatas pada satu masa program kerja
pemerintahan, melainkan satu upaya uang holistic dan melingkupi segenap sendi
kehidupan. Peran-peran pemerintah selaku
pelaksana mandat Undang-Undang Dasar Negara harus diletakkan pada kepentingan
rakyat dan kepentingan generasi mendatang.
Untuk itu :
- Hak Atas Lingkungan penting dimasukan sebagai prisip di dalam
semua kebijakan dan
perundang-undang ditingkat internasional, regional dan nasional yang
terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam,
sebagaimana pula dapat terimplementasikan sampai pada pelaksanaan.
- Pemerintah harus membuat visi dalam bentuk cetak biru lingkungan hidup
sebagai pijakan praksis dalam pengimplemantasian pembangunan lingkungan
hidup yang dapat diakses oleh rakyat.
- Mekanisme yang tersedia dalam hukum nasional untuk sementara harus
dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam rangka penegakan hak atas lingkungan
di negara ini. Pada saat yang bersamaan
perlu terus-menerus diupayakan terobosan hukum yang menjamin terciptannya
keadilan ekologi dan keberlanjutan kehidupan.
- Diperlukan pengadilan lingkungan hidup yang independen dan
berkeadilan, yang sifatnya ad hoc bagi para penjahat lingkungan
yang selama ini telah menyebabkan berbagai bencana, kemiskinan struktural
serta kejahatan lingkungan di Indonesia.
- Gagasan
dan gerakan yang mendesakan agar para penjahat lingkungan dikategorikan
sebagai pelaku kejahatan HAM, baik di tingkat nasional, regional maupun
internasional perlu diperkuat.
Dengan
demikian maka upaya untuk Pemulihan Indonesia terintegrasi dalam upaya
pembangunan Nasional.
[1] Deddy Ratih, Anggota Individu Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia.
[4] Data perhitungan RAD GRK Propinsi Lampung dengan base
line tahun 2005 – 2013, BLHD Lampung 2013,
[5] Pidato sambutan Kepala Bappeda Propinsi Lampung pada
Focus Group Discussion MP3EI Koridor Sumatera, 20 Januari 2014
[6] Laporan Akhir Tahun KPA, 2013.
[7] M. Ridha Saleh, Makalah tentang Ecocide